SANG BRUTUS DAN FREEPORT
Tulisan
menarik dari Grup WA
*GINANDJAR, SANG
BRUTUS DAN FREEPORT*
Oleh Haris Rusly
(Eksponen Gerakan
Mahasiswa 1998, Yogyakarta)
Di periode akhir Presiden Soeharto tahun 1998, Ginandjar
Kartasasmita membuktikan dirinya selaku “American Boy”, yang sangat setia
kepada sang "Tuan Besar". Pada 20 Mei 1998 di Kantor Bappenas,
Ginandjar memimpin 14 Menteri untuk mundur dari Kabinet yang baru dibentuk oleh
Presiden Soeharto.
Ketika itu kapal Pemerintahan Soeharto sedang “oleng” menghadapi
multi tekanan, mulai dari krisis ekonomi, kelangkaan sembako, kerusuhan
sosial, konflik elite, pertikaian internal TNI, hingga gelombang gerakan
mahasiswa yang makin membesar di berbagai kota.
Keadaan itu makin tambah parah ketika sejumlah menteri yang
dianggap “golden boy” nya Pak Harto melompat ke luar meninggalkan kapal yang
membesarkan diri mereka. Akibatnya, kapal besar Orde Baru yang kokoh itu kehilangan
keseimbangannya. Kapal Pak Harto itu akhirnya tenggelam oleh pengkhinatan
“orang dalam”, dikhianati "anak-anak emas" yang dia besarkan.
Kisah Ginandjar, dkk. tersebut tentu sangat menginspirasi
sekaligus mengingatkan kita tentang kisah sang “Brutus” yang namanya abadi
hingga akhir zaman. Bagi para pengkhianat, Brutus adalah “nabi” dan sumber
inspirasi. Kisah Brutus mungkin saja yang telah mengispirasi Ginandjar, dkk.
untuk menusuk Pak Harto dari belakang.
Alkisah, pada tahun 44 (SM), sejumlah senantor yang dipimpin
oleh Marcus Junius Brutus menikam Kaisar Republik Romawi, Julia Caesar, hingga
tewas. Rencana itu berawal dari kedengkian sekaligus ketakutan para Senator
terhadap kekaisaran Julius Caesar yang semakin berkuasa.
Brutus, yang sebelumnya pernah dimaafkan Julius Caesar, dibujuk
oleh sejumlah Senator Romawi, antara lain Gaius Cassius Longinus, Decimus
Junius Brutus, dan lainnya untuk berkonspirasi menggulingkan Julius Caesar.
Hari kematiannya ditentukan ketika sang Caesar menerima undangan
dari Senat. Ketika itu, istrinya Caesar, Calpurnia, sempat melarang Caesar
untuk menghadiri undangan tersebut.
Namun, Julius Caesar bertekad tetap menerima undangan para
Senator tersebut. Hari naas itu tiba, di dalam gedung Senat yang mulia itu, Brutus
bersama anggota Senat lainnya lalu mengeroyok dan menikamnya dengan belati
puluhan kali ke seluruh tubuh Julius Caesar hingga tewas.
Kisah ini sangat inspiratif lantaran selalu saja ada manusia
dengan peran seperti Brutus, pada setiap periode kekuasaan. Sebagai contohnya
adalah peran Ginandjar, dkk. dalam periode akhir kekuasaan pemerintahan
Soeharto.
Dalam naskah Shakespeare, Brutus mengakui ikut menusukkan belati
ke tubuh Julius Caesar justru karena kecintaan kepadanya. “Begitu besar cintaku
kepadanya, sehingga aku tak ingin membiarkannya hidup sebagai seorang diktator
yang tiran”, ucap Brutus persis seperti sang pahlawan tanda jasa.
Mencegah kediktatoran, adalah suatu alasan yang klise, kamuflasa
semata. Bukankah anggota-anggota Senat yang berkonspirasi dalam pembunuhan
terhadap Julius Caesar, juga adalah orang-orang yang mengkhianati rakyat dan
menjadi kaya raya karena korupsi dan pengkhianatan terhadap negaranya.
Demikian juga sang Ginandjar, kecerdasan dan kecerdikannya dalam
menumpangi gerakan mahasiswa tahun 1998 bagaikan mandi di dalam kolam yang
berisi air yang jernih dan bersih. Wajah dan tubuhnya yang tadinya dilumuri
lumpur korupsi dan kotoran pengkhinatan menjadi bersih kembali, tampil seakan
akan pahlawan penyelamat.
Sebagaimana Brutus, bukankah Ginandjar Kartasasmita adalah orang
yang kaya raya yang diduga hartanya diperoleh dari kejahatan korupsi dan
pengkhianatan terhadap negara?
Sebagaimana Brutus, pengkhianatan yang dilakukan oleh Ginandjar
terhadap Presiden Soeharto sesungguhnya tidak untuk membela kepentingan rakyat
dan negara. Sesunguhnya pengkhianatan tersebut dilakukan untuk kepentingan
pribadi dan keluarganya sendiri, yang mengatasnamakan rakyat dan reformasi.
Bukankah peran Ginandjar sangat strategis selaku Menteri
Pertambangan dan Energi (Mentamben) di era Orde Baru, telah bertindak menjadi
“brutus” yang mengkhianati negara dalam Kontrak Karya dengan PT Freeport pada
30 Desember 1991. Sebuah kesepakatan yang telah menjadi sengketa yang melilit
dan menguras energi negara Indonesia hingga saat ini.
Bukankah akibat dari Kontrak Karya tahun 1991 tersebut yang
memungkinkan PT Freeport mempunyai landasan hukum mengajukan perpanjangan
kontrak setiap saat.
Karena itu, jika saat ini, sedang berlangsung pertikaian antara
rakyat versus pemerintahan Joko Widodo terkait kesepakatan Freeport, yang
dianggap menyimpang dari konstitusi, pertanyaannya, dimana gerangan Mr. (Jhony)
Ginandjar?
Jika saat ini berlangsung sengketa yang melilit, tidak ada
unjungnya, antara Pemerintahan Joko Widodo melalui Kementerian ESDM versus PT
Freeport, pertanyaannya, di mana gerangan sang “Brutus” Ginandjar?
*Selamat menikmati liburan akhir tahun bersama keluarga.*
Comments