REFLEKSI TENTANG OLIGARKI, DEMOKRASI, DAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA
REFLEKSI TENTANG OLIGARKI, DEMOKRASI,
DAN SUPREMASI
HUKUM DI INDONESIA
Orasi Ilmiah yang
Disampaikan pada
Peringatan Dies Natalis ke-75 Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah
Mada,
Auditorium, Gedung Law Learning
Center
oleh
Jeffrey A. Winters, Ph.D.
Professor of Political
Science of the Equality
Development and Globalization Studies
Program (EDGS)
Northwestern
University
Chicago, USA
17 Februari 2021
**My
sincere thanks to Dr. Achmad Munjid for editing and greatly improving this
Indonesian version.
Perjuangan sepanjang
sejarah menunjukkan kepada kita bahwa ada kehendak manusia yang kuat dan gigih
terhadap kebebasan, keadilan, dan kesetaraan.
Tetapi sejarah juga mengungkap betapa masyarakat manusia tetap
dicengkeram oleh ketidaksetaraan yang mendasar dan tak kunjung hilang, oleh
pola penyisihan, dan terutama oleh kapasitas kelompok kecil (para oligark dan
elit) untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri sembari mendominasi
orang lain. Ada banyak capaian penting
dalam sejarah, dan tidak ada yang bisa menyangkal bahwa memang ada kemajuan
dalam menangani ketidaksetaraan. Tetapi
jika kita jujur, kita harus mengakui bahwa capaian itu lambat dan
sepotong-sepotong. Dan dalam beberapa
kasus, kesenjangan justru meningkat meski kita hidup di era yang lebih vokal
menyuarakan keadilan dan hak-hak dibandingkan masa-masa sebelumnya. Dr.
Martin Luther King menyatakan dalam orasi yang terkenal pada tahun 1968
bahwa “busur semesta moral itu panjang tetapi ia mengarah pada keadilan.”[1] Meskipun pesannya itu dimaksudkan untuk
membangkitkan semangat, namun kita sangat prihatin karena kemajuan menuju
keadilan bersifat sangat bertahap sehingga ia harus diukur dalam skala maha
besar.
Pesan utama dari orasi saya pada
kesempatan penting ini adalah bahwa apapun yang mungkin telah kita capai di
ranah keadilan, keadilan, dan martabat manusia, kita begitu terlena
bercengkerama dengan ketidaksetaraan yang ekstrim. Tingkat kesenjangan dan ketimpangan kekuasaan
yang terlalu mulia untuk disebut “beradab” sudah menjadi normal belaka. Sangat gampang untuk melihat bahwa demokrasi
kita didominasi oleh segelintir orang daripada oleh banyak orang; bahwa ekonomi
kita mengakibatkan ketidaksetaraan kekayaan baik di dalam suatu negara maupun
antar negara dalam skala yang belum pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah
manusia; dan sistem hukum kita tunduk pada mereka yang kuat daripada yang kuat
tunduk pada hukum (seperti yang harus dilakukan oleh mereka yang lemah). Saya menyebut kegagalan ini bukan agar kita
menjadi pesimis atau sedih, tapi untuk mengingatkan kita semua bahwa untuk
mencapai perubahan yang berarti, kita harus memulai dengan penilaian jujur
tentang di mana keberadaan kita sekarang.
Apa yang saya tawarkan hari ini adalah dalam semangat melanjutkan
perjuangan penting orang-orang yang telah datang sebelum kita – bukan hanya
karena itulah
satu-satunya hal yang
bertanggung jawab untuk kita lakukan, tetapi juga akan menjadi tragedi jika
kita membiarkan upaya dan pengorbanan mereka menjadi sia-sia.
Orasi ilmiah ini
diawali dengan analisis masalah ketidaksetaraan dan demokrasi. Penekanannya adalah pada ketidaksetaraan
sosial yang mestinya diperbaiki oleh demokrasi, tetapi pada kenyataannya malah
ia merusak demokrasi itu sendiri.
Diskusi ini dilanjutkan dengan melihat lebih dekat soal ketidaksetaraan
masyarakat kita yang paling awet, dengan penekanan pada serangkaian aktor khusus
yang dikenal sebagai para oligark sebagai contoh paling ekstrem. Lebih dari kelompok manapun, oligark merusak
pencapaian demokrasi perwakilan di negara-negara kita. Pada bagian akhir orasi ilmiah ini, pembahasan
akan mengarah pada ketimpangan kekuasaan dan supremasi hukum. Argumennya adalah bahwa ketika kita
mengatakan “supremasi hukum dan bukan (supremasi) manusia,” lokasi penting bagi
perjuangan bukanlah terletak pada tingkat massa warga negara biasa, melainkan
pada tingkat oligark dan elit, aktor yang paling kuat dalam sistem. Menjinakkan mereka dan membuat mereka tunduk
pada hukum, dan lembaga hukum, adalah perebutan kekuasaan yang paling sulit
yang dihadapi bangsa mana pun. Jadi,
nanti dalam orasi ini saya akan mengusulkan definisi ulang mengenai negara
hukum yang selanjutnya akan membantu membimbing dan memfokuskan perjuangan di
masa depan guna mencapai tujuan penting ini.
Saya akan berargumen
bahwa untuk mencapai supremasi hukum itu jauh lebih sulit daripada transisi
menuju demokrasi. Ini karena para
oligark dan elit dapat dengan mudah beradaptasi, menangkap, dan mendominasi
demokrasi. Hal ini tidak dimungkinkan
terjadi pada supremasi hukum karena peraturan dan hukuman yang diterapkan
secara sama bagi yang lemah dan yang kuat secara langsung akan mengancam
kekuasaan mereka yang berada di atas.
Dari perspektif para oligark dan elit, demokrasi adalah penggunaan
kekuasaan dengan cara yang berbeda, sedangkan rule of law adalah kehilangan
kekuasaan secara mutlak. Di tingkat
permukaan, pengalaman Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi hanyalah
urusan korupsi. Namun pada level yang
lebih dalam, ini adalah pertarungan untuk menjinakkan para oligark dan elit
negeri ini – sebuah perebutan kekuasaan dengan konsekuensi penting bagi
supremasi hukum di Indonesia, dan suatu pertarungan yang saat ini dimenangkan
oleh aktoraktor paling kuat.
Sebelum beralih ke
dimensi hukum, penting bagi kita untuk memahami distribusi kekuasaan yang tidak
merata dalam masyarakat dan implikasinya terhadap demokrasi dan supremasi
hukum.
Demokrasi
Modern sebagai Upaya Menciptakan Kesetaraan dalam Ketimpangan
“Manusia terlahir merdeka, tapi di mana
pun dia terbelenggu.”
Rousseau, Kontrak
Sosial, 1762
Di masa Rousseau, tidak
ada demokrasi yang berarti. Monarki yang
menindas dan rezim otoriter lainnya terlihat dominan dimana-mana. Solusi dia untuk meraih kebebasan manusia dan
pemerintahan yang sah adalah dengan mengalihkan kedaulatan kepada rakyat. Namun jika kita bergerak cepat ke abad 21,
terbukti bahwa membangun demokrasi dan kebebasan saja tidaklah cukup. Ada serangkaian rantai lain yang memperangkap
kita. Karena berfokus terlalu sempit
pada pemerintah saja, analisis dan tawaran perbaikan Rousseau mengabaikan dan
meremehkan dampak abadi dari stratifikasi dan hierarki sosial di luar struktur
pemerintah terhadap kesetaraan politik.
Versi yang diperbarui dari kalimat pembuka The Social Contract mungkin bisa begini: “Manusia dilahirkan dalam
keadaan yang sama, tapi di mana pun ia tidak setara.” Demokrasi dan kebebasan adalah perolehan
penting, tetapi tak satu pun yang cukup untuk mencapai kesetaraan karena ia
gagal buat mengatasi bentuk-bentuk ketimpangan ekstrim yang paling penting dan
tahan lama dalam masyarakat.
Semua masyarakat
demokratis modern mengandung kontradiksi yang mendasar. Kita menghargai kesetaraan sebagai salah satu
prinsip tertinggi, namun kita mentolerir dan bahkan memeluk struktur dan
institusi yang menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan yang besar yang membuat
demokrasi tak representatif.
Ketidaksetaraan kekuasaan merongrong semua upaya atau rancangan formal
(yang dilembagakan) untuk mencapai kesetaraan yang berprinsip. Kekuasaan yang tidak setara berarti
masyarakat yang tidak setara, apa pun konstitusi yang kita tulis atau prinsip
yang kita nyatakan.
Kontradiksi ini ada
karena selama ratusan tahun, masyarakat modern menempuh dua jalur yang tak bisa
didamaikan. Salah satunya adalah jalur
politik dan hukum formal yang menyatakan partisipasi setara dan persamaan hak
untuk semua. Demokrasi memiliki
legitimasi yang luas karena ia didasarkan pada prinsip bahwa kekuasaan dan
suara setiap warga negara harus setara.
Ia begitu menarik sehingga orang bersedia mengambil risiko penderitaan
dan kematian untuk meraihnya. Prinsip
kesetaraan demokrasi diabadikan secara formal, tetapi juga secara sempit, dalam
praktik satu orang, satu suara pada hari pemilu. Dalam ranah hukum, hal itu diabadikan dalam
prinsip persamaan di depan hukum. Tidak peduli
apa posisi atau statusnya, orang tunduk pada hukum, tidak pernah hukum tunduk
pada orang.
Jalur lainnya adalah
bidang ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi dan pasar. Ini adalah ranah yang juga mendapatkan
legitimasinya dari prinsip-prinsip dasar kesetaraan seperti persaingan yang
sehat dan akses yang terbuka. Namun,
dalam praktiknya pasar secara konsisten menghasilkan ketidaksetaraan yang
sangat besar. Setiap orang diharapkan
sama-sama bebas untuk bersaing di pasar, dan, dalam bentuk idealnya, pasar
harus menjadi arena bermain yang setara yang tidak memihak kepada orang-orang
tertentu. Satu-satunya keunggulan yang
diizinkan secara sah untuk dibawa ke pasar adalah keunggulan kompetitif, yang secara eksklusif
berakar pada daya tarik produk atau layanan yang ditawarkan di mata
orang-orang. Anda menang di pasar karena
konsumen memilih Anda daripada orang lain.
Dan mereka memilih Anda karena upaya dan inovasi Anda. Itu adalah versi pasar yang ideal, bukan
kenyataan.
Dari pengalaman beberapa
abad, tidak dapat disangkal bahwa kapitalisme pasar melakukan dua hal dengan
sangat baik: ia meningkatkan standar hidup secara keseluruhan dan menghasilkan
ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrim.
Meskipun penciptaan kekayaan yang besar disamping massa manusia yang
nyaris tak mampu mencukupi hidupnya memang mengganggu, hal itu sendiri
sesungguhnya adalah sesuatu yang bisa diperbaiki atau disesuaikan melalui
kebijakan pemerintah yang mengembalikan keseimbangan kekayaan. Tetapi ini tidak terjadi, sebab ketidaksetaraan
kekayaan yang ekstrim tidak hanya membuat orang-orang tertentu menjadi super
kaya, tetapi juga membuat mereka menjadi sangat kuat di masyarakat. Sistem ekonomi secara tak terelakkan
menghasilkan oligark yang dapat dengan mudah mengubah kuasa kekayaan menjadi
kuasa politik, dan mereka yang memiliki insentif kuat untuk melakukannya tak
lain adalah demi mempertahankan kekayaan mereka.
Pasar melakukan
pekerjaan yang sangat baik dalam memusatkan kekayaan, sementara politik
(terutama politik demokratis) mengancam untuk menyebarkannya kembali. Tantangan bagi segelintir orang kaya dan
berkuasa adalah mendominasi politik untuk mengurangi risiko redistribusi. Dalam demokrasi, kekuatan para oligark
mendistorsi sistem politik dan merusak – dan dalam beberapa kasus bahkan
membatalkan – kesetaraan demokrasi berdasarkan pemungutan suara. Maksud saya adalah bahwa perjuangan kita
untuk mencapai kesetaraan (melalui demokrasi) terkandung dalam perjuangan yang
lebih besar dan jauh lebih kuat yang menghasilkan ketidaksetaraan (kapitalisme
pasar). Hasilnya adalah kesetaraan
politik yang terhalang oleh ketidaksetaraan material yang nyaris tidak
terbatas.
Demokrasi telah
dikritik dari berbagai sudut. Perdebatan
telah menghasilkan dua cara berpikir yang luas tentang demokrasi. Yang satu menekankan pada substansi atau isi
pemerintahan-sendiri yang demokratis.
Kita mengukur atau menilai pemerintahan demokratis berdasarkan hasil
demokrasinya.[2] Prinsip dasarnya, “kemauan rakyat” harus
benar-benar terlihat dalam kebijakan, tindakan, dan prioritas pemerintah. Tetapi para kritikus mengajukan pertanyaan
yang lugas: Apa yang dimaksud dengan “kemauan rakyat”? Joseph Schumpeter dalam
kritiknya terhadap pandangan klasik tentang demokrasi berpendapat bahwa gagasan
tentang “keinginan rakyat” adalah mitos yang mustahil. Ia tidak ada dalam kenyataan. Orang memiliki banyak keinginan dalam banyak
hal. Terkadang orang tahu apa yang
mereka inginkan. Seringkali mereka juga
tidak tahu. Kadang-kadang mereka
menginginkan apa yang dikehendaki elit berpengaruh supaya mereka inginkan, dan
ini bisa berubah jika elit lain, yang lebih persuasif dan karismatik,
mengalihkan perdebatan ke arah yang berbeda.
Ini tidak berarti bahwa orang biasa adalah
gembala yang bodoh. Tetapi, yang
dimaksud di sini adalah bahwa orang itu sendiri kompleks, bahwa mereka memiliki
banyak pandangan tentang banyak topik yang juga kompleks, dan bahwa kebanyakan
masyarakat sangat buruk dalam mendidik dan memberi informasi kepada
warganya. Kecuali pada komunitas yang
sangat kecil di mana setiap orang berpartisipasi langsung dalam pemerintahan
sendiri (tapi sebetulnya ini melelahkan juga), jika apa yang disebut keinginan
rakyat itu ada, dia akan diwujudkan melalui perwakilan.
Realitas modern ini
mendorong Schumpeter untuk mengalihkan gagasan fundamental kita tentang
demokrasi dari substansi dan isi pemerintahan menuju prosedur. Dia mendefinisikan
ulang demokrasi sebagai prosedur untuk memilih perwakilan dalam pemerintahan.[3] Dari perspektif ini, pemerintah adalah
demokratis jika ia merupakan hasil dari “persaingan bebas untuk mendapatkan
suara bebas.” Demokrasi bukanlah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Itu mitos lain. Ia adalah pemilihan pemimpin pemerintah
melalui pemilu yang benar-benar bebas, adil, dan kompetitif. Peran rakyat bukanlah untuk mengatur diri
mereka sendiri, melainkan untuk memilih siapa yang akan memerintah mereka. Tidak lebih dan tidak kurang.
Perhatikan bahwa cara
khas memilih perwakilan ini mungkin ya atau mungkin juga tidak menghasilkan
kebijakan dan tindakan pemerintah yang memenuhi kebutuhan dan keinginan
rakyat. Menurut redefinisi Schumpeter
(yang dominan secara global), kita dapat berharap
atau berasumsi bahwa prosedur
demokratis dalam memilih perwakilan memang akan menghasilkan semacam “keinginan
rakyat” yang diwujudkan. Tetapi perlu
ditegaskan bahwa itu tidak harus dilakukan untuk menjadi demokratis. Seluruh legitimasi demokrasi didasarkan pada bagaimana perwakilan dipilih, bukan
hubungan antara kebijakan yang mereka hasilkan dan kepentingan mayoritas.
Luar biasanya adalah bahwa terlepas dari
definisi Schumpeter yang lebih sederhana dan minimalis, dan meskipun hasil
aktual tidak relevan atau perlu mencerminkan kepentingan mayoritas, demokrasi
yang didefinisikan ulang oleh Schumpeter masih gagal menurut patokan yang
dibuatnya sendiri karena ketidaksetaraan kekuasaan yang besar di semua
masyarakat membuat persaingan bebas untuk mendapatkan suara bebas akhirnya
mustahil. Bahkan
interpretasi Schumpeter yang
sudah dilucuti tentang pemerintahan demokratis masih bertumpu pada pondasi kesetaraan suara dan kesetaraan kekuasaan
bagi semua warga negara.
Persaingan bebas untuk mendapatkan suara
bebas tidak ada artinya jika beberapa ribu oligark dan elit memiliki kekuatan
untuk mengarahkan, membatasi, memblokir, atau membanjiri metode demokrasi di
setiap tahap. Analoginya adalah sebuah
stadion yang penuh dengan orangorang yang semuanya berbicara dan berteriak
sekaligus ketika suara mereka ingin didengar, sementara sekelompok oligark dan
elit yang jauh lebih kecil dan lebih terkoordinasi bisa memperdengarkan suara
dan pesan mereka jauh lebih keras melalui speaker yang menggelegar. Hanya sesekali saja ketika kerumunan orang
itu kompak meneriakkan pesan yang sama secara serempak, mereka bisa
manenggelamkan suara dari pengeras.[4]
Gampang menarik analogi ini untuk pemilu
yang bebas dan adil – dan apa yang menentukan suara atau ide mana yang beredar,
mana yang diperkuat, mana yang akhirnya membentuk isu-isu yang ada dalam agenda
selama kampanye, dan siapa yang terpilih untuk mewakili rakyat. Lebih jauh, ini bahkan belum soal kekuatan
dan pengaruh terus-menerus para oligark pada masa-masa diantara pemilu ketika sebagian besar warga yang memenuhi stadion
imajiner itu kembali kepada keluarga, pekerjaan, dan kehidupan mereka pada
umumnya. Para oligark dan elit memiliki
peluang dan sumber daya untuk tetap terlibat dan melakukan tekanan jauh setelah
hasil pemilu diumumkan. Bahkan dengan
definisi demokrasi Schumpeter yang direduksi itu pun, paling-paling rakyat
mendapatkan pemilihan yang telah diakali oleh oligark dan elit, diikuti oleh
pemerintah yang bahkan lebih jauh mereka akali.
Apa yang terlihat jelas
dari diskusi ini adalah bahwa bahkan dengan mundur ke definisi prosedural yang
minimalis pun tidak dapat menyelamatkan demokrasi jika kekuasaan
didistribusikan secara tidak merata dalam masyarakat sehingga institusi “satu
orang, satu suara” dikalahkan oleh beberapa orang yang memiliki setara dengan
jutaan suara. Untuk memahami bagaimana
ini terjadi, kita harus mengeksplorasi berbagai bentuk pemberdayaan yang tidak
berasal dari hak formal partisipasi dan hak pemungutan suara yang setara. Ini adalah ranah stratifikasi, para oligark,
dan elit.
Ketimpangan
Sederhana, Ketimpangan Ekstrim, dan Kekuasaan Para Oligark
Masalah inti dari demokrasi
kita tidak ada hubungannya dengan bagaimana demokrasi didefinisikan. Tidak jadi soal apakah kita mau menekankan
hasil atau prosedur. Juga tidak relevan
apakah kemauan rakyat itu ada atau tidak, atau apakah kita memiliki demokrasi
langsung versus perwakilan terpilih.
Dalam masyarakat bertingkat, yang merupakan satu-satunya jenis yang ada,
ini semua adalah distraksi. Hal yang
terpenting adalah bahwa pemerintahan demokratis dalam bentuk apapun tidak mungkin dilakukan ketika warga negara
memiliki ketidaksetaraan kekuasaan yang ekstrim. Bahkan jika ada pemilihan yang benar-benar
kompetitif, hak pilih universal, dan kebebasan penuh untuk berserikat,
partisipasi, dan akses terhadap informasi, sebuah sistem masih akan tetap
dianggap tidak demokratis jika ia memberi hampir semua orang satu suara, tetapi
memberi sejumlah kecil warga negara masing-masing dengan satu juta suara. Ini karena memberikan satu suara kepada
setiap orang merupakan syarat inti demokrasi sehingga kekuasaan harus dibagi
secara setara di antara semua warga negara.
Tetapi agar prinsip
inti ini bermakna, asumsinya adalah bahwa pemungutan suara yang setara akan
memberi setiap orang suara yang sama.
Artinya, kekuasaan politik yang setara adalah elemen kualifikasi
demokrasi. Maka, selanjutnya, pemberian
satu suara kepada setiap orang akan cukup bagi demokrasi hanya jika warga negara juga memiliki kekuasaan yang relatif setara
untuk semua kategori lain yang relevan.
Jika tidak, dan jika ketidaksetaraan kekuasaan bersifat ekstrim, itu sama
dengan memberikan satu suara untuk mayoritas dan satu juta suara untuk beberapa
orang saja.
Studi tentang
ketimpangan punya silsilah yang panjang dan kontroversial. Dalam artikel perintis yang mengundang
perdebatan tajam di American Sociological
Review, Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945, hlm. 242) menyatakan bahwa “kebutuhan fungsional
terhadap stratifikasi” itu ada. Mereka
menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang kompleks orang memiliki peran yang
berbeda, dan ada alasan penting mengapa penghargaan yang berbeda dihubungkan
dengan masing-masing peran.5
Mereka menyimpulkan bahwa ketimpangan bersifat universal karena itu dia
memang perlu dan bermanfaat. Sebagai
tanggapan, Melvin
Tumin
(1953, hlm. 387) mengakui bahwa
ketaksetaraan itu “ada dimana-mana sejak dulu kala” (ubiquity and antiquity),
tetapi ia membantah, bahwa masalah yang sebenarnya adalah bagaimana kekuasaan
dan properti didistribusikan. Walter
Buckley (1958) menunjukkan bahwa Davis dan Moore mengacaukan diferensiasi sosial dengan stratifikasi sosial. Tidaklah kontroversial bahwa masyarakat besar
dan kompleks harus memiliki pembagian kerja yang kompleks. Juga tidak masalah bahwa peran yang berbeda
akan mendapatkan imbalan yang berbeda.
Apa yang tidak perlu maupun bukan tak terhindari adalah perbedaan ekstrim dalam penghargaan tadi. Masalah ketidaksetaraan bukanlah pada
keberadaannya, melainkan pada skalanya, yang tidak dibahas dan tidak dapat
dijelaskan oleh Davis dan Moore.6
Teori fungsional diferensiasi sosial (klaim bahwa masyarakat yang
kompleks membutuhkan ketidaksetaraan agar berfungsi) gagal menjelaskan besarnya
stratifikasi sosial yang sangat mengejutkan yang terlihat jelas sejak peradaban
paling awal sampai sekarang.[5]
5
Menurut Davis dan Moore (1945, hlm. 243): “Jika tugas yang terkait dengan
berbagai posisi sama menyenangkannya bagi organisme manusia, semuanya sama
pentingnya untuk kelangsungan hidup masyarakat, dan semuanya sama-sama
membutuhkan kemampuan atau bakat yang sama, tidak ada bedanya siapa yang
menempati posisi mana, maka masalah penempatan sosial akan sangat berkurang. “
Oleh karena itu, ketidaksetaraan sosial adalah “perangkat yang berkembang
secara tidak sadar di mana masyarakat memastikan bahwa posisi yang paling
penting diisi secara cermat oleh orang-orang yang paling memenuhi syarat.” 6
Menekankan “kualifikasi” sebagai dasar bagi siapa yang mengisi peran berbeda
dalam masyarakat, Davis dan Moore berpendapat bahwa orang mendapatkan akses
berdasarkan bakat bawaan atau pelatihan. Mereka mengakui bahwa kemampuan bawaan
tidak dapat menjelaskan sebagian besar ketidaksetaraan sosial karena “bakat
cukup melimpah di tengah penduduk”. Alihalih, mereka menunjuk pada proses
pelatihan, yang “sangat lama, mahal, dan rumit sehingga relatif sedikit yang
dapat memenuhi syarat.” (Davis dan Moore 1945, hlm.244). Masalah yang jelas
pada analisis ini adalah bahwa ia bersifat melingkar karena akses kepada
“pelatihan” itu sendiri dikondisikan oleh ketidaksetaraan sosial sebelumnya.
Unsur yang hilang dalam
teori-teori tersebut adalah peran yang dimainkan kekuasaan dalam menangkap
imbalan yang tidak setara, yang bukan hanya tidak menghasilkan manfaat sosial
yang nyata, tetapi secara aktif juga merugikan bagi masyarakat. Lawan ketidaksetaraan ekstrim bukanlah
kesetaraan mutlak, suatu tujuan yang diangkat oleh kaum konservatif untuk
membatalkan dan menggagalkan agenda perubahan yang bermakna. Perjuangan untuk kesetaraan radikal telah
terbukti bersifat utopis yang berbahaya, dan kita begitu jauh dari cita-cita
ini sehingga ia tidak perlu dipertimbangkan secara serius. Medan kontestasi dan analisis yang
sesungguhnya menyangkut tingkat
ketidaksetaraan, dan bagaimana hal itu dapat direduksi ke tingkat
non-patologis. Jika ketaksetaraan itu
tak terhindari dan bahkan bermanfaat, ketidaksetaraan yang ekstrim bukanlah
keduanya. Kebalikan realistis dari
ketimpangan ekstrem inilah yang bisa disebut ketimpangan sederhana.
Perbedaan antara ketimpangan sederhana dan ekstrim berakar pada hubungan
mereka dengan kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik. Ketimpangan sederhana relatif tidak berbahaya
karena terlalu kecil untuk menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan yang
menyimpang dalam masyarakat.
Ketaksetaraan sederhana tidak mengubah peluang-peluang hidup atau
memungkinkan individu atau kelompok kecil mendominasi komunitas yang besar.
Ketimpangan yang ekstrim membawa serta
kekuatan yang sangat besar dan tidak muncul secara alami atau begitu saja.[6] Mereka diperjuangkan secara agresif dan
dipertahankan secara sadar.[7] Dan karena peran lembaga, ketidaksetaraan
yang menghasilkan imbalan dan kekuasaan yang masif punya karakteristik
keberlanjutan-diri yang penting. Lembaga
adalah aturan, norma, dan prosedur yang mencerminkan para pemenang dari
pertarungan dan pergulatan sosial di masa lalu.
Mereka adalah artefak yang tersisa ketika debu konflik sosial telah
surut. Kita perlu melihat institusi
sebagai penebalan struktural yang lentur dalam melawan tantangan di celah-
celah relasi sosial yang
menopang relasi kekuasaan yang ada.
Institusi itu bersifat penting dalam memberikan stabilitas dan
kontinuitas bagi kekuasaan dan dominasi.
Misalnya, lembaga hak milik, yang didukung oleh pemaksaan negara, sangat
penting bagi kelancaran alih kekayaan dan kekuasaan lintas generasi. Perbudakan mengubah orang menjadi
properti. Penangkapan awal terhadap
orang mengubah mereka menjadi budak; pelembagaan perbudakan memastikan sehingga
status mereka berlanjut dari generasi ke generasi.
Peran keberlanjutan
lembaga ini menjelaskan mengapa retakan atau “persimpangan kritis” begitu
penting untuk memahami perubahan sepanjang sejarah. Krisis besar dapat meretakkan dan
menghancurkan struktur kelembagaan yang dapat bertahan lama terutama karena
mereka dibangun dan diperbaiki secara konstan.
Meskipun yang lemah terkadang memenangkan pertempuran yang menghasilkan
institusi, hampir semua struktur dan institusi sosial yang penting punya para
penjaga perkasa di dalam dirinya yang mencerminkan dan mempertahankan
distribusi kekuasaan dan penghargaan yang tak
setara. Ketika melawan balik mereka
yang kuat dan memiliki hak istimewa, kemenangan yang tegas jarang sekali
terjadi.[8] Tempat yang paling jelas memperlihat hal ini
adalah institusi dan politik demokrasi.
Dari semua
ketaksetaraan yang ada dalam masyarakat, tidak ada yang lebih ekstrim dan
penting daripada ketidaksetaraan kekayaan karena distorsi yang ditimbulkannya
dalam demokrasi dan supremasi hukum.
Patut dicatat juga bahwa meskipun ketidaksetaraan kekuasaan ada di semua
ras dan gender, jelas bahwa setidaknya sejumlah kemajuan dalam bidang ini telah
dicapai di sebagian besar negara di dunia.
Hanya dalam ketaksetaraan kekayaanlah, situasinya tidak hanya memburuk
selama lima puluh tahun terakhir, tetapi secara dramatis bahkan lebih buruk
dibandingkan dengan 500 atau 1.000 tahun yang lalu.
Perhatikan data tentang
Indonesia untuk dua indikator konsentrasi kekuatan-kekayaan. Yang pertama adalah Material Power Index
(MPI). Ini mengukur seberapa besar
kekuatan material yang dimiliki oligark di bagian atas dibandingkan dengan
orang biasa (lihat Gambar 1).
Gambar
1. Perubahan Indeks Kekuatan Material di
Indonesia, 2010-2020.
Ini dihitung dengan membagi
kekayaan rata-rata dari 40 orang terkaya Indonesia
(tersedia setiap tahun dari Forbes) dengan posisi kekayaan rata-rata
penduduk (menggunakan PDB per kapita sebagai proxy). Hasilnya menunjukkan bahwa kesenjangan
kekayaan-kekuatan yang sudah besar di Indonesia pada tahun 2010 telah tumbuh
pesat selama dekade terakhir. Rata-rata
oligark teratas di Indonesia memiliki sekitar 570.988 kali kekuatan kekayaan
rata-rata warga negara pada tahun 2010.
Jumlah ini naik menjadi 759.420 kali lipat pada tahun 2020, atau
meningkat 33%. Ini berarti konsentrasi
kekayaan di kalangan oligark meningkat jauh lebih cepat daripada pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan.
Indikator lain, Wealth
Concentration Ratio, memberikan gambaran tentang negara mana yang memiliki
konsentrasi kekayaan yang ekstrim di bagian atas. Ini dihitung dengan membandingkan median dan
kekayaan rata-rata suatu negara dari data yang dikumpulkan oleh Credit
Suisse. Kekayaan median dalam masyarakat
adalah titik tengah dalam populasi.
Separuh orang dewasa lebih kaya dan separuh lagi lebih miskin. Kekayaan rata-rata adalah total kekayaan pada
suatu negara dibagi dengan jumlah orang dewasa.
Untuk semua 171 negara dalam kumpulan data Credit Suisse, rata-rata
lebih tinggi dari median. Ini karena
konsentrasi kekayaan yang berada di sekitar mereka yang di atas pada setiap
negara membuat rata-rata menjadi lebih tinggi.
Pertanyaannya adalah seberapa tinggi.
Inilah yang dikatakan Wealth Concentration Ratio. Ini diperoleh dengan membagi kekayaan
rata-rata suatu negara dengan kekayaan mediannya. Tabel 1 menyajikan perbandingan 10 negara
dengan Wealth Concentration Ratios tertinggi pada tahun 2019. Indonesia menduduki peringkat ke-8 dunia
dengan rasio 5,3 berbanding rata-rata dunia 3,0.
Tabel
1. 10 Wealth Concentration Ratios Paling
Tinggi di Dunia, 2019
Median Average Wealth
Wealth
Wealth Concentration
Rank Country (US$) (US$) Ratio
-----------------------------------------------------------------------------
1
Netherlands 31,057
|
279,077 |
9.0 |
2
Russia 3,683 |
27,381 |
7.4 |
3
Ukraine 1,223 |
8,792 |
7.2 |
4
United States 65,904 |
432,365 |
6.6 |
5
Sweden 41,582 |
265,260 |
6.4 |
6
Thailand 3,526
|
21,853 |
6.2 |
7
Germany 35,313 |
216,654 |
6.1 |
8 Indonesia 1,977
|
10,545 |
5.3 |
9
Denmark 58,784 |
284,022 |
4.8 |
10
India 3,042 |
14,569 |
4.8 |
**
Average |
|
3.0 |
-----------------------------------------------------------------------------
Source: Credit Suisse Global Wealth
Databook, 2019.
Jalan memutar singkat ke dalam
topik kekayaan yang terkonsentrasi dan kekuasaan yang diberikannya terhadap
orang kaya inilah yang merupakan dasar teori oligarki.
Para oligark adalah
aktor yang diberdayakan secara politik dan sosial oleh kekayaan (Winters 2011,
2014). Kekayaan yang terkonsentrasi
selalu mendatangkan ancaman bagi mereka yang memiliki kekayaan besar. Ancaman tersebut bisa vertikal atau
horisontal. Dari bawah, orang yang tidak
kaya dapat mencoba mengambil kekayaan dari mereka yang berada di atas. Dari atas, negara dapat mengambil kekayaan
dalam bentuk pajak tinggi dan
mendistribusikannya kepada
orang lain di masyarakat. Dalam kasus
raja dan diktator, terkadang redistribusi itu untuk diri mereka sendiri. Secara horizontal, para oligark juga saling
menjadi ancaman satu sama lain. Salah
satu cara cepat seorang oligark menjadi lebih kaya adalah dengan mengambil
kekayaan oligark lainnya.
Sepanjang sejarah,
ancaman dari segala arah ini telah menjadi fakta eksistensial bagi para
oligark, dan mereka tidak punya pilihan selain terlibat dalam pertahanan
kekayaan atau binasa. Saya
mendefinisikan oligarki bukan sebagai bentuk pemerintahan, tetapi sebagai
politik mempertahankan kekayaan. Istilah
oligarki menggambarkan cara-cara tertentu bagaimana kekuasaan dan kepentingan
dari sedikit orang kaya diungkapkan. Dan
yang penting tentang oligarki yang tertanam dalam sistem politik apa pun, dari
otoriter hingga demokratis, adalah bahwa kekayaan itu sendiri adalah instrumen
kekuasaan khusus mereka. Ada dua faktor
kunci yang menentukan kekuatan politik para oligark. Yang pertama adalah bentuk kekayaan mereka. Saya
mungkin kaya karena saya memiliki 10 juta ekor sapi. Tetapi ternak sulit dipakai untuk pengaruh
politik. Aset keuangan adalah bentuk
kekuasaan kekayaan yang paling serbaguna dan kuat. Uang dapat digunakan untuk berbagai tujuan
politik secara luas.
Faktor kedua adalah seberapa mudah kekuasaan kekayaan dapat
digunakan dalam sistem politik tertentu.
Saya mungkin memiliki banyak uang, tetapi undang-undang keuangan
kampanye yang ketat dan ditegakkan secara agresif mungkin mencegah saya
membelanjakannya untuk kandidat atau partai.
Ini tidak berarti bahwa uang para oligark tidak berguna selama pemilu,
tetapi itu berarti bahwa mereka harus jauh lebih hati-hati dalam
membelanjakannya untuk memastikan agar kandidat dan kebijakan mereka
menang. Seperti yang kita ketahui dari
kasus Indonesia, terkadang ada oligark yang melompati langkah mendukung partai
atau kandidat dan langsung membuat partai sendiri dan berkampanye untuk diri
mereka sendiri. Ini telah terjadi di
Indonesia baik di tingkat nasional maupun regional, dan ini merupakan pola yang
telah berkembang selama dekade terakhir di negara demokrasi lain di seluruh
dunia.
Penggunaan kekuatan
kekayaan tidak terbatas pada kampanye dan pemilu. Oligark dapat memberikan dana kepada legislator
dan politisi untuk mendapatkan keputusan yang menguntungkan dalam hal
undang-undang dan kebijakan seperti pajak, tenaga kerja, peraturan investasi,
atau untuk memenangkan kontrak besar dari pemerintah. Mereka dapat menyewa preman untuk mengintimidasi
orang atau institusi, atau membayar gerombolan untuk memicu protes rakyat. Untuk menghindari konsekuensi hukum, mereka
dapat menyuap polisi, jaksa, dan hakim.
Semua ekspresi kekuasaan ini cukup terlihat dan terkenal, dan juga
samasekali tak tersedia bagi para warga negara biasa.
Yang sangat tak
kelihatan, tetapi yang tidak kalah pentingnya, adalah apa yang saya sebut
Industri Pertahanan Kekayaan. Ini adalah
industri multi-nasional dan bernilai miliaran dolar yang tujuan satu-satunya
adalah menyembunyikan dan melindungi kekayaan orang-orang sangat kaya, terutama
dari pajak dan redistribusi pemerintah, tetapi juga untuk mencuci dan
merelokasi dana curian. Industri ini
penuh dengan profesional berbakat dan bergaji tinggi termasuk pengacara,
akuntan, pelobi, dan spesialis manajemen kekayaan. Semua firma hukum besar di seluruh dunia
memiliki divisi manajemen kekayaan, dan beberapa perusahaan tidak melakukan
pekerjaan lain apa pun kecuali membantu para oligark melindungi kekayaan
mereka.
Saya banyak menulis tentang bagaimana oligark
beroperasi dalam demokrasi Indonesia.
Poin-poin
penting yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa meskipun semua orang
dewasa
Indonesia memiliki suara
tunggal dan setara dalam pemilihan umum Indonesia mulai tahun 1999, para
oligark menggunakan kekuasaan luar biasa yang melampaui pemungutan suara
sederhana untuk membentuk berbagai isu politik yang sedang dimainkan, untuk
menentukan partai dan kandidat mana yang bisa maju, dan siapa yang peluang
menangnya signifikan. Sistem ini juga
sangat dinamis karena pemerintah merupakan target utama oligark untuk
mendapatkan pengaruh dan kontrol, tetapi jabatan pemerintahan juga merupakan
jalur potensial untuk menjadi oligark.
Jabatan pemerintahan merupakan sumber kemakmuran potensial di banyak
negara. Namun karena peran sentral dari
industri ekstraktif seperti minyak, gas, pertambangan, batu bara, dan kayu, ada
banyak peluang di Indonesia untuk mengeruk sumber daya yang cukup besar guna
menghasilkan kekayaan dalam skala oligark. Di A.S., misalnya, politisi bisa berharap
mendapatkan puluhan atau ratusan ribu dolar melalui korupsi. Jika mereka benar-benar beruntung, mereka
bisa menembus jutaan. Tapi di Indonesia
itu bisa mencapai ratusan juta bahkan milyaran dollar.
Meskipun skor dan
peringkat Indonesia untuk demokrasi dan kebebasan anjlok dalam beberapa tahun
terakhir, negara ini berkinerja cukup baik sebagai negara demokrasi prosedural
minimalis. Pemilu terjadi tepat waktu,
ada banyak kandidat dan partai yang bersaing secara terbuka dan dengan
kekerasan minimal, dan kecurangan suara minimal. Kebebasan pers dan hak berbicara dan
berkumpul sebagian besar tetap dipelihara (sekali lagi, dengan penurunan
barubaru ini sebagai pengecualian), dan kandidat yang kalah dalam pemilu mundur
dari kedudukan mereka atau minggir dan memberi jalan bagi yang menang.
Demokrasi adalah
satu-satunya sistem pemerintahan di mana para pemimpin yang kuat menyerahkan
posisi mereka secara kerap dan sukarela.
Kontribusi terbesar SBY bagi demokrasi Indonesia adalah mundur secara
damai ketika batas dua masa jabatannya habis.
Semua ini penting. Tetapi mereka
tidak melakukan apa pun untuk membatasi atau menetralkan kuasa kekayaan yang
sangat besar dan pengaruh para oligark dan elit Indonesia. Sebagaimana di tempat lain di dunia,
Indonesia adalah perpaduan antara demokrasi dan oligarki. Sistem kekuasaan yang setara berdasarkan
suara yang setara dikelilingi dan didominasi oleh kekuatan oligark dan elit
yang tidak setara.
Di bagian akhir orasi
ilmiah ini, saya ingin melihat lebih dekat mengenai masalah kekayaan dan
kekuasaan yang terkonsentrasi di Indonesia.
Melalui studi kasus rule of law, saya ingin menunjukkan bagaimana KPK
merepresentasikan upaya menjinakkan kekuasaan para oligark dan elit Indonesia,
termasuk penilaian mengapa upaya itu penting namun gagal.
Kekuasaan
dan Supremasi Hukum
Kekuatan yang
terkonsentrasi secara ekstrim di beberapa tangan merongrong supremasi hukum
dengan cara yang sama sebagaimana ia mendistorsi demokrasi. Kita telah melihat bahwa pemilu demokratis
memang “bebas dan adil” dalam arti persaingan yang sempit, tetapi ia sama
sekali tidak adil dalam hal suara dan pengaruh yang setara di antara semua
warga negara. Inilah yang dimaksud
McCormick dengan demokrasi sebagai “oligarki elektif.” Kita melakukan pemilu, tetapi
dalam struktur sosial dan politik yang lebih luas yang didominasi oleh kekuatan
ekstrim para oligark dan elit.
Oligark dan elit
menghalang-halangi pembentukan negara hukum ketika kekuatan pribadi mereka
cukup untuk membelokkan dan mempengaruhi sistem hukum buat keuntungan
mereka. Proposisi saya untuk Anda hari
ini adalah bahwa definisi negara hukum hanya masuk akal jika ia difokuskan pada
keberhasilan atau kegagalan menjinakkan para oligark dan elit suatu negara.[9] Karena hal ini belum terjadi di Indonesia,
maka kita harus menyimpulkan bahwa rule of law belum ada. Kabar baiknya adalah bahwa selama dua dekade
terakhir, negara ini telah melakukan upaya besar untuk memaksa oligark dan
elitnya supaya tunduk pada rule of law. Kabar buruknya adalah bahwa setelah awal yang
sangat kuat, pertempuran antara hukum dan aktoraktor paling berpengaruh di
Indonesia telah berubah secara meyakinkan untuk berpihak pada mereka yang
berkuasa. Saya mengacu, tentu saja, pada
kisah KPK yang menginspirasi namun tragis.
Sebelum memfokuskan diri pada KPK, mari kita
kaji terlebih dahulu hubungan fundamental antara supremasi hukum dan kekuasaan
orang. Ada dua elemen penting dalam
analisis ini. Bagian pertama dan
termudah adalah mendefinisikan dengan jelas apa
itu Negara Hukum. Definisi ini
membantu kita untuk mengatakan apakah negara hukum itu ada dan mengidentifikasi
hambatan utama apa yang menghalanginya.
Unsur kedua adalah memahami
bagaimana
Negara Hukum dibangun, yang merupakan masalah yang sangat berbeda. Kedua dimensi ini membutuhkan penekanan pada
kekuasaan yang jauh lebih umum dalam ilmu politik daripada di bidang hukum,
terutama di tempat-tempat di mana ia diajarkan secara normatif.
Bagaimana kita harus
mendefinisikan negara hukum? Penting bagi kita untuk fokus pada apa itu negara
hukum daripada tujuan ideal yang diandaikan mau dicapai, seperti kemerdekaan,
kebebasan, atau keadilan. Paul Gowder
menyebutkan tiga komponen dasar. Pertama
adalah keteraturan, yang berarti
bahwa secara bisa diandalkan jabatan dibatasi oleh hukum dan aturan dalam
penggunaan kapasitas koersif negara.
Kedua adalah publisitas, yang
berarti orang-orang tahu tentang peraturan dan dapat menantang penerapannya
dalam kasus-kasus individu. Dan yang
ketiga adalah generalitas, yang
berarti bahwa negara tidak melakukan “pembedaan yang tidak relevan” di antara
orang per orang ketika menegakkan aturan.
(Gowder 2013, hlm. 566).
Sementara elemen-elemen
dari Gowder mengisyaratkan peran sentral kekuasaan dalam negara hukum, kita
harus lebih eksplisit. Saya ingin
memulai proses redefinisi. Saya mulai
dengan menawarkan apa yang saya sebut Reformulasi 1: Negara Hukum itu ada ketika hukum
dan lembaga hukum lebih kuat daripada semua orang yang mengatur atau diatur. Yang penting tentang redefinisi ini adalah
fokusnya pada institusi, orang, dan kekuasaan.
Inti dari negara hukum adalah bahwa orang tunduk pada hukum, bukan hukum
tunduk kepada orang. Negara Hukum
membutuhkan depersonalisasi yang
ketat dan tuntas dalam hal aturan dan penegakannya, yang artinya non sub homine, sed sub lege (bukan di
bawah manusia, tetapi di bawah hukum).
Dimensi pertama
depersonalisasi berkaitan dengan pejabat di suatu negara. Orang-orang dalam pemerintahan yang berada di
atas kita – entah mereka membenci atau menyukai kita, entah mereka dari suku
atau partai kita, entah mereka punya kepentingan pribadi atau politik untuk
mendukung atau merendahkan kita, atau entah mereka sedang merasa senang atau
sebaliknya – semua harus dianggap tidak relevan. Aspek kedua dari depersonalisasi adalah bahwa
karakteristik individu kita tidak menjadi masalah dalam penyelenggaraan
hukum. Baik identitas kita, posisi kita,
status kita, maupun posisi kekuasaan kita tidaklah relevan. Hukum berlaku sama untuk semua – karena itu
kain penutup mata yang menutupi mata Dewi Keadilan (simbol dengan timbangan dan
pedang yang merujuk ke belakang setidaknya ke zaman Romawi, meskipun penutup
matanya itu tidak disematkan ke patung dan gambar tadi sampai abad ke-16).
Tapi kenapa dia memakai
penutup mata? Jawabannya adalah jika Dewi Keadilan bisa melihat kita, ada
resiko bahwa prasangka (kata yang secara harfiah berarti “pra-penilaian”) dari
mereka yang berkuasa akan mengubah cara kita diperlakukan oleh sistem
hukum. Penutup matanya itu adalah untuk perlindungan kita. Tetapi ada pesan lain yang lebih subtil pada
penutup mata. Dewi Keadilan juga harus
dilindungi agar tak mengetahui kekuatan yang berpotensi mengintimidasinya dari
orang yang berdiri di hadapannya. Jika dia
tahu, jika dia merasakan kekuatan mereka, dan jika kekuatan mereka lebih besar
darinya, penegakan hukumnya akan terdistorsi.
Aspek kekuasaan dari rule of law ini menggeser kita dari apa itu supremasi hukum ke bagaimana rule of law dicapai (serta
kapan dan mengapa rule of law itu gagal).
Ini membawa saya ke Reformulasi 2,
definisi terakhir saya: Rule of Law ada ketika hukum dan lembaga
hukum lebih kuat daripada aktor paling kuat dalam masyarakat. Perhatikan bagaimana definisi ini mengubah
fokus kita. Kita tidak lagi
memperlakukan semua warga negara sebagai suatu massa yang tidak
terdiferensiasi. Seperti yang kita lihat
dalam diskusi demokrasi, kebanyakan orang memiliki kemampuan atau suara yang
levelnya rata-rata. Bagi setiap mereka
sebagai individu, yang mereka punya untuk mempengaruhi politik hanyalah suara
mereka satusatunya itu. Tapi oligarki
dan elit memiliki kuasa dalam skala yang sangat besar.
Pendefinisian ulang rule of law ini menarik perhatian kita
pada fakta bahwa kekuasaan orang biasa umumnya dianggap terlalu kecil,
sementara kekuatan orang-orang tertentu berpotensi sangat besar. Dalam kaitannya dengan oligarki dan elit,
makna simbolisme penutup mata bukanlah bahwa Dewi Keadilan tidak tahu siapa
yang datang di depan dia, tetapi dia begitu kuat dan percaya diri sehingga dia tidak peduli. Bagi Dewi Keadilan, kekuatan oligarki dan
elit tidak terlihat, seolah tidak ada.
Dia tidak takut. Jadi dengan
mempertimbangkan posisi kekuatan berbagai aktor dalam masyarakat, kita mencapai
pemahaman yang sangat berbeda, dan, menurut saya, pemahaman yang lebih dalam
tentang persamaan di depan hukum.
Artinya, sistem hukum tidak akan mendiskriminasi yang lemah dan
menghukum mereka secara tidak adil, dan tidak akan diintimidasi oleh yang kuat
dan membiarkan mereka bebas meskipun bersalah.
Pada sebagian besar
masyarakat, yang lemah tunduk pada hukum karena mereka kalah kuasa, sedangkan
hukum tunduk pada yang kuat karena sistem hukum kalah kuasa.[10] Istilah yang kita gunakan sesungguhnya
mencerminkan pembedaan massa-elit ini.
Aturan hukum yang “lazim” ada ketika orang-orang di tingkat massa
mentaati hukum dan lembaga hukum cukup berhasil dalam mendeteksi, mengadili,
dan menghukum pelanggaran. Menariknya,
istilah yang paling umum digunakan ketika aturan ini runtuh di tingkat massa
adalah “negara gagal”, yang merupakan kondisi merajalelanya ketiadaan hukum di
mana kekuasaan dan penegakan dilimpahkan ke berbagai aktor non-negara yang
menegakkan berbagai aturan secara tambal sulam pada semua segmen masyarakat.
Ketika kita mengatakan
sebuah negara memiliki masalah “supremasi hukum”, kita tidak mengacu pada
ketiadaan hukum di tingkat massa.
Melainkan, ia merujuk pada negara-negara di mana sistem hukum ditekuk
atau didistorsi oleh yang berkuasa karena mereka punya kapasitas, sumber daya,
atau koneksi untuk mempengaruhi atau mengintimidasi aparat hukum, mulai dari
polisi dan penyidik hingga jaksa dan hakim.
Pembedaan ini terlihat jelas di Indonesia – suatu masyarakat di mana
kebanyakan orang mengikuti aturan dasar, roda keadilan yang lazim terus
berputar, dan ratusan ribu orang masuk penjara karena berbagai kejahatan
mereka.[11] Semua orang setuju bahwa Indonesia punya
problem rule of law, tetapi tidak ada yang mengatakan negara ini sebagai negara
tanpa hukum atau negara gagal. Tapi,
rule of law lemah karena ia tidak dapat memaksa orang yang paling kuat untuk
tunduk pada aturan.
Reorientasi pemahaman kita tentang rule of
law ini, dan mengapa ia gagal, mengalihkan perhatian kita pada perebutan
kekuasaan di bagian paling atas dari sistem sebagai lokus masalah rule of
law. Rule of Law ada ketika pejabat yang
kuat di pemerintahan dibatasi supaya mentaati hukum, dan ketika para aktor yang
kuat dalam masyarakat ditangkap, diadili, dinyatakan bersalah, dan dihukum
menurut cara yang rutin, biasa, dan tak terdistorsi oleh karena sumber daya
kekuatan individual mereka.14
Rachel Belton (2005, hlm. 9)
menekankan sentralitas
konflik kekuasaan dalam rule
of law ketika dia mengatakan bahwa “kekuatan yang sesungguhnya diambil dari
individu yang kuat ketika peradilan diperkuat dan hukum prosedural yang
mengikat para eksekutif disahkan.” Dia melanjutkan bahwa “naïf jika para
reformis tidak memperkirakan akan adanya penolakan dan pengelakan reformasi
yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan ini dari mereka yang kehilangan
kekuasaan.” Dia menjelaskan mengapa:
Seperti ketika mengekang
pemerintahan, menciptakan persamaan di depan hukum akan mengubah keseimbangan
kekuasaan dalam masyarakat, memberi kekuasaan lebih besar kepada orang biasa
dengan akibat bagi orang kaya dan mereka yang kuat. Oleh karenanya, kemungkinan tindakan itu akan
menghadapi perlawanan politik ketika ia cukup berhasil dan benar-benar
mengancam para pemegang kekuasaan.
(Belton 2005, hlm. 10).
Pengamatan terakhir tentang
ancaman terhadap pemegang kekuasaan dan perlawanan politik di atas sangat
relevan dengan perjuangan atas rule of law di tingkat atas di Indonesia.
KPK
dan Rule of Law
KPK didirikan dengan fokus pada korupsi
oleh pejabat, yang hanya merupakan sebagian kecil dari semua penyalahgunaan
kekuasaan di tingkat atas yang melibatkan kekayaan. Tapi kisah KPK punya arti penting yang jauh
lebih besar daripada sekadar mencegah pencurian uang negara atau mengurangi
kerugian negara. Pembentukan KPK
merupakan satu-satunya upaya terpenting dalam sejarah Indonesia untuk
menegakkan rule of law – yang tadi baru saja didefinisikan ulang sebagai
lembaga hukum handal yang lebih kuat dari para aktor terkuat di negara ini.
menunjukkan dengan jelas bahwa
“politik dan kekuasaan sangat penting dalam menegakkan supremasi hukum. Michael
Oakeshott [1983] dengan tepat mencatat bahwa negara hukum tidak dapat
melindungi dirinya sendiri dari serangan eksternal. Ia harus memiliki pembela
yang kuat atau orang yang mendukungnya bisa mendapatkan keuntungan. Program
reformasi yang berfokus pada penyediaan komputer untuk meningkatkan efisiensi pengadilan
di tengah-tengah otokrasi politik, misalnya, tampak seperti mengobati sakit
maag pada pasien yang menderita kanker. “ (Belton 2005, hlm. 19).
Indonesia di bawah
Suharto bukanlah negara tanpa hukum, tetapi di sana tidak ada supremasi
hukum. Barisan oligarki dan elit di
sekitar Soeharto, baik sipil maupun militer, jauh lebih kuat dari aparat hukum
negara. Hukum dan peralatan untuk
menegakkannya hanya berfungsi bagi mereka yang tidak kuat. Hal ini berubah pada tahun 1998 ketika krisis
yang parah membuka jalan bagi reformasi besar dalam sistem hukum
Indonesia. Krisis ekonomi, kehancuran
finansial, dan serangkaian mobilisasi massa di jalanan membuat kaum oligarki
dan elit Indonesia kehilangan keseimbangan, bingung, dan berantakan. Penting untuk memahami momen ini bukan hanya
sebagai runtuhnya posisi kekuasaan Suharto, tetapi sebagai keruntuhan dengan
dampak luas yang melanda seluruh struktur kekuasaan di tingkat atas. Patut diperhatikan juga bahwa aparat keamanan
Indonesia yang bekerja erat dengan Soeharto pun mengalami hantaman dan
pelemahan pada periode ini.
Tuntutan kompak para
demonstran adalah diakhirinya kolusi, korupsi, dan nepotisme. Beberapa aktivis secara eksplisit menyatakan
apa sebenarnya inti dari tuntutan ini – sebuah upaya untuk memaksa orang-orang
kuat untuk tunduk pada supremasi hukum sebagaimana yang secara rutin dilakukan
oleh mereka yang tidak berdaya.[12] Terlepas dari semua retorika yang ada, dari
perspektif kekuasaan, pembentukan KPK harus dipahami sebagai ancaman langsung
terhadap penyalahgunaan kekuasaan di lapisan atas masyarakat Indonesia. Satu-satunya cara untuk melakukan ini adalah
dengan membentuk sebuah institusi atau badan yang entah bagaimana harus lebih
kuat daripada orang-orang kuat di atas.
Sejak awal, menerapkan batasan hukum pada oligarki dan elit Indonesia
adalah perjuangan yang berat. Dan
desain, ruang lingkup, serta perjuangan yang dihadapi KPK mencerminkan
konfrontasi kekuatan raksasa yang terlibat.
Hal pertama yang harus kita sadari adalah
keruntuhan dalam struktur kekuasaan status quo yang muncul pada tahun 1998
bersifat terbatas dalam skala dan durasinya.
Mari kita ingat bahwa sangat jarang terjadi seorang diktator yang jatuh,
mau lengser begitu saja, dan kemudian diam-diam pulang ke rumah untuk
menghabiskan tahun-tahun selanjutnya dengan menonton TV
dan menikmati hidupnya sebagai
seorang kakek. Batista di Kuba, Shah di
Iran, Somoza di Nikaragua, Marcos di Filipina, Mubarak di Mesir, Gaddafi di
Libya, dan Ceaușescu di Rumania semuanya digulingkan setelah terjadinya
pemberontakan massal dan mereka melarikan diri ke pengasingan, dipenjara, atau
terbunuh. Suharto adalah pengecualian. Saya pikir kita semua akan setuju bahwa orang
Indonesia pada umumnya adalah orang yang sangat baik. Tapi ini tidak menjelaskan mengapa Soeharto
diperlakukan begitu baik. Saya
berpendapat bahwa itu karena dia dan kekuatan status quo mengalami kewalahan
pada tahun 1998 dan 1999, tetapi kewalahan mereka tidak terlalu besara dan
tidak berlangsung terlalu lama.
Dukungan di kalangan
para oligarki dan elit terhadap hukum dan institusi yang lebih kuat yang akan
membuat korupsi sebagai permainan berisiko tinggi tidaklah universal. Memang benar bahwa pada awal 1990-an, para
oligarki merasa lebih sulit untuk mempertahankan kekayaan mereka dari tindakan
predator yang dilakukan oleh anggota keluarga presiden. Pada akhir 1990-an, keprihatinan mereka
menjadi kekhawatiran dan kepanikan.
Bukan praktik korupsi yang membuat mereka jengkel. Kebanyakan mereka menjadi sangat kaya justru
melalui suatu jenis imbalan korupsi. Ketidakpastian baru dalam korupsilah
yang menjadi sangat mengganggu. Selama
dekade-dekade awal rezim Suharto, uang mengalir di antara mereka yang kuat
dengan tertib di mana pembayaran tidak berakibat menghancurkan dan, seperti
dalam operasi mafia yang kuat, kesepakatan adalah kesepakatan. Jika timbul masalah, Soeharto sebagai Don
mafia akan membereskan dan memulihkan perdamaian dan ketertiban. Fungsi penting inilah yang berantakan ketika
Orde Baru kian dewasa. Yang dirindukan
oleh para oligark adalah ketertebakan lama, yang membuat sebagian dari mereka
sangat memperhatikan kemungkinan untuk mendukung sistem hukum yang lebih kuat.
Tapi ini bukanlah
pandangan yang dominan. Selama beberapa
dekade politik-ekonomi bangsa ini telah dibangun di atas ekstraksi sumber daya
ketimbang produksi dan manufaktur.
Logika dominan dari persaingan dalam politik dan ekonomi ekstraksi
adalah “get a piece of the action,”
yang merupakan kontes klasik orang dalam lawan orang luar. Jalan menuju perolehan kekayaan adalah dengan
masuk ke dalam dan terhubung dengan aliran kekayaan, lalu berusaha agar hubung itu tetap terjaga selama mungkin.
Semua variabel dan motivasi ini sangat
mendukung korupsi – dan bukan hanya korupsi, tetapi juga seluruh budaya
bagi-bagi dan politik kartel yang menyertainya (Slater 2011; Winters 2011; Dick
dan Mulholland 2016). Dalam sistem
hukum, ini bisa dilihat mulai dari petugas polisi lalu lintas biasa yang berdiri
sepanjang hari di bawah terik matahari, menghirup asap knalpot yang
beracun. Mereka mengumpulkan “pungutan
non-resmi” dari mobil-mobil yang lewat.
Mengapa mereka melakukan ini? Sangat mudah untuk membuktikan bahwa itu
bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Ikuti saja selusin polisi pulang dan lihat bagaimana hidup mereka. Mereka adalah anak tangga terendah pada
tangga panjang ekstraksi dan transfer ke atas.
Contoh ini bukan untuk mengecam dan mengritik polisi. Sekalipun sebagian ekstraksi dilakukan oleh
tingkat terendah, keseluruhan desain sistemnya adalah untuk memastikan
pengayaan yang ada di tingkat atas.
Praktik-praktik ini merajalela di semua sektor ekonomi politik di mana
ekstraksi bersifat dominan dan mendapatkan bagian dari tindakan adalah hal yang
amat penting.[13]
Patut dicatat bahwa ada
generasi baru politisi yang terpilih pada tahun 1999 yang mendapatkan kekuatan
dan popularitasnya dari gerakan antikorupsi.
Mereka bergabung dengan LSM, beberapa oligark reformis, dan elit-elit
lainnya di dalam dan di luar pemerintahan untuk membentuk KPK. Dalam hal kekuasaan, koalisi ini berpengaruh
bukan hanya karena sumber daya mereka sendiri, tetapi juga secara relatif:
lawan-lawan mereka dalam sistem masih dalam proses mengelompok-kembali setelah
jatuhnya Suharto. Perlu waktu untuk
memperoleh kembali keseimbangan dan kepercayaan diri. Artinya, bagi KPK, jam terus berdetak dan
para reformis harus bertindak cepat sebelum jendela peluang tertutup.
Jelas bahwa kebutuhan
atas reformasi hukum setelah tahun 1998 bersifat sistemik, tetapi tanggapannya
bersifat segmental. Ini bukan karena
para reformis kurang visi atau pemahaman.
Itu adalah cerminan dari posisi kekuasaan yang terbatas dari mana
inisiatif negara hukum diluncurkan. Para
reformis tidak memiliki kekuatan dan dukungan untuk melakukan upaya reformasi
polisi, jaksa, dan hakim yang mendalam dan luas di seluruh penjuru tanah
air. Tidak ada revolusi sosial yang
membuat hal itu bahkan punya kemungkin untuk terjadi. Membentuk KPK adalah langkah awal dan hal
paling realistis yang dapat diharapkan dalam situasi ini.
Bayangkan
KPK sebagai sinar laser yang terfokus dan kuat daripada sebagai lampu sorot
yang
besar-lebar tapi lemah. Reformasi yang segmental ketimbang yang
sistemik berarti adalah adopsi pendekatan enclave
(daerah kantong-kantong, atau wilayah istimewa).
Untuk berjuang pada
level kekuasaan tertinggi di negeri ini, strateginya adalah mengesahkan
undang-undang khusus, menanam KPK di ruang hukum yang sempit, mendirikan tembok
tinggi di sekeliling ruang itu, mengisi lembaga dengan personel yang dipilih
secara cermat, memberi orang-orang itu kekuatan investigasi yang luar biasa,
fokus pada bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang sangat terbatas (kerugian
negara), dan membawa terdakwa ke pengadilan dalam pengadilan khusus (daerah
kantong lain) yang dikhususkan hanya untuk kasus korupsi. Harapannya adalah bahwa pendekatan daerah
kantong (atau wilayah istimewa) ini, melalui popularitas dan legitimasinya,
dapat memulai proses perubahan bertahap dalam sistem hukum yang lebih
luas. Sayangnya alih-alih
mentransformasi sistem, KPK malah menjadi sistem yang sama saja.
Bisa kita katakan,
bahwa kekuatan awal KPK didasarkan pada pemisahannya dari yang lain dalam
sistem yang ada. Ia lebih bersih, lebih
dapat diandalkan, dan juga cukup berhasil dalam penuntutan. Namun seiring berjalannya waktu, pemisahan
ini menjadi kelemahan KPK. Kecuali jika
KPK mampu melakukan lebih dari sekedar menangkap ikan besar dan mencapai angka
tingkat vonis yang tinggi, ia pasti gagal.
Jika KPK tidak dapat menjadi instrumen transformasi yang lebih luas
dalam sistem hukum (yang merupakan permainan kekuasaan, bukan proyek teknis),
atau, jika pusat kekuasaan lain dalam sistem tidak mendorong perubahan di
bidang aparat hukum yang lain, maka isolasi KPK akan menjadi rumus kegagalan. Pada kenyataannya, ia bahkan lebih buruk
lagi. Semakin KPK efektif saat terjebak
dalam ruang sempitnya, semakin ia mempercepat kekuatan dan proses-proses
pukulan balik melawannya. Di mata para
oligark dan elit Indonesia, KPK itu buruk karena ia baik.
Penilaian saya sendiri
adalah bahwa keterbatasan KPK tidak boleh disalahkan pada kekeliruan
perencanaan dan pelaksanaan oleh para reformis yang membentuk Komisi itu dan
menjalankannya selama lebih dari lima belas tahun. Nasib KPK, terutama isolasi dan
kerentanannya, mencerminkan hal terbaik yang bisa dilakukan mengingat
terbatasnya kekuasaan dan dukungan yang dimiliki oleh para reformis.
Dalam kondisi inilah
kita melihat upaya berulang-ulang untuk melucuti kewenangan KPK, dengan pukulan
terbaru dan paling dahsyat datang pada akhir tahun 2019.[14] Perhatikan bahwa jika KPK adalah badan yang
menangkap dan menuntut kapal penangkap ikan ilegal (milik orang asing) di
perairan Indonesia, atau jika KPK sangat pintar melacak pembunuh dan pemerkosa
(kejahatan orang biasa), oligark dan elit Indonesia akan mensponsori perayaan
para pemimpin KPK dan membanjiri mereka dengan penghargaan prestasi. Tapi KPK tidak memburu target yang mudah
seperti itu. Ia mengejar target paling
berbahaya: warga bangsa sendiri yang kuat.
Peran ini mungkin membuatnya berteman dengan para warga Indonesia biasa,
tapi ia mengundang musuh di kalangan atas, di mana sebagian besar kekuatan
berada. Rakyat memang memiliki kekuatan
laten yang besar, tetapi ia hanya berarti ketika diaktifkan dan dimobilisasi.
Saat terbukanya kekuasaan yang terbatas
setelah 1998 inilah, upaya-upaya Indonesia yang terpenting dalam menjinakkan
yang kuat dan penegakan supremasi hukum terhadap mereka terjadi. Dan keterbatasan-keterbatasan tadi
menjelaskan banyak hal tentang bagaimana kisah KPK terungkap, dan mengapa badan
yang paling populer dan sah ini sekarang dinetralkan secara bertahap. Jawaban sederhananya adalah ketika kekuatan
oligark dan elit Indonesia menjadi stabil dan mengalami penguatan kembali, dan ketika
banyak perpecahan yang meledak pada tahun 1998 di kalangan atas diperbaiki,
keseimbangan kekuasaan yang sempat menguntungkan KPK berbalik cepat untuk
menentangnya. Yang kuat mulai menata
barisan. Akibatnya bukan hanya nasib KPK
yang terancam, tetapi yang lebih penting, kemajuan Indonesia menuju supremasi
hukum terhenti karena para oligark dan elit menegaskan kembali kekuasaan
mereka. Alih-alih menciptakan efek riak
sistemik yang mereformasi aparat hukum lainnya, KPK tetap menjadi daerah
pelindung yang telah dipaksa untuk melakukan pertempuran defensif ketimbang
ofensif hampir sejak awal.
Bukan berarti upaya KPK
gagal total.[15] Itu tergantung pada bagaimana orang membaca
apa yang terjadi dan pelajaran apa yang mereka petik. Pertama, kebanyakan pendekatan normatif tidak
efektif. Memang sangat menyenangkan
punya prinsip di pihak kita. Tetapi
instrumen yang paling efektif untuk melawan kekuatan besar adalah kekuatan yang
lebih besar lagi. Begitulah kondisi awal
lahirnya KPK. Dan nasibnya dapat dilacak
menurut perubahan konstelasi kekuasaan pada masa-masa setelah 2004. Cerita ini menegaskan sentralitas kekuasaan
dalam pembentukan rule of law.
Ketika kita meninjau
peristiwa-peristiwa dalam 15 tahun terakhir di seputar KPK, ada kecenderungan
untuk mempersonalisasikan perebutan kekuasaan, yang membuatnya jadi tampak
remeh daripada sesuatu yang mengancam sistem.
Karena begitu banyak yang dipertaruhkan, menjinakkan oligark dan elit
tidak pernah terlihat indah. Terlalu
merendahkan jika kita katakan bahwa kapasitas mereka untuk melawan sangat
signifikan. Dan sejarah KPK membuktikan
bahwa berdiri di garis depan pertarungan supremasi hukum memang sangat
berisiko. Tokohtokoh penting KPK telah
dipenjara karena pembunuhan, dicederai dan dibuat buta karena siraman air keras
ke wajah mereka, dan bahkan dituduh melakukan korupsi. Pers pun telah mengangkat konflik ini
terutama sebagai sensasi yang bersifat pribadi.
Jika tidak ditempatkan dalam konteks yang tepat, publik dengan mudah
mendapat kesan bahwa ini semua hanyalah konflik pribadi yang terjadi karena
para pemain ambisius berebut posisi-posisi penting di atas, atau pertarungan
sepele dan kecemburuan antara institusi seperti KPK versus polisi (cicak versus
buaya).
Tapi ini adalah salah
tafsir serius tentang pertempuran yang sesungguhnya sedang terjadi. Penting disadari bahwa reaksi keras terhadap
badan seperti KPK, yang berusaha memaksakan supremasi hukum kepada yang paling
berkuasa, akan selalu dimainkan kasus per kasus, drama demi drama. Tapi ini tidak mengurangi arti penting dari
apa yang sedang dipertaruhkan jika dilihat dalam potret yang lebih besar. Pada akhirnya, hasil pentingnya adalah bahwa
yang kuat akan tunduk pada hukum, atau hukum akan tunduk pada yang kuat. Terlepas dari semua drama dan tragedi tadi,
ini adalah satu-satunya hal yang penting bagi masa depan bangsa Indonesia.
Dari cerita ini kita melihat bahwa
perebutan kekuasaan pada inti rule of law
dimulai dengan kerusakan dan pembukaan dalam konstelasi kekuasaan status
quo. Krisis ini dapat
menghasilkan konfigurasi
kekuasaan yang melahirkan reformasi besar, undang-undang baru, lembaga baru,
perilaku baru, dan harapan baru di kalangan rakyat dan sesekali juga di antara
mereka yang kuat. Penting untuk
diperhatikan apakah para oligark dan elit percaya bahwa perubahan ini bersifat
permanen dan mereka harus menyesuaikan diri dengan realitas baru, atau dianggap
hanya sementara dan dapat dibalik.
Begitu reformasi hukum diterapkan, tindakan investigasi yang berulang
dan konsisten, penuntutan, dan hukuman tanpa rasa takut atau intimidasilah yang
akan membuat rule of law menjadi
lazim dan diharapkan, dan pada akhirnya dilembagakan dan diberdayakan. Dengan kata lain, tidak mungkin proses
penegakan hukum dapat dipisahkan dari konstelasi kekuasaan di atas.
Apakah ini membutuhkan keberanian individu
tertentu di antara mereka yang melaksanakan prosedur tersebut? Ya, tentu saja. Tetapi memakai penutup mata Dewi Keadilan,
dan memperlakukan bahaya yang besar seolah-olah ia tidak ada, tidak boleh hanya
semata mengandalkan keberanian individu karena sebagian besar kita bukanlah
pahlawan (yang menjelaskan mengapa setiap bahasa memiliki kata khusus untuk
mereka). Komitmen pribadi dan
profesional para pelaku sistem hukum tidak cukup ketika bentuk-bentuk kekuasaan
yang lain tak hadir buat menghadapi mereka yang kuat.[16]
Dalam pengertian normatif, rule of law adalah sebuah gagasan dan prinsip
yang hampir tak ada kontroversi lagi.
Kita sulit menemukan orang yang mau terang-terangan secara prinsip
melawan supremasi hukum. Tetapi dalam
praktik, supremasi hukum hampir-hampir murni merupakan perkara kekuasaan. Dan merupakan kewajiban bagi para pendidik
hukum dan para profesional hukum (dosen, profesor, pengacara, jaksa, dan hakim
di semua tingkatan) untuk menyadari bahwa kecuali jika peran kekuasaan yang tak
setara di tangan individu dan kelompok tadi dipahami dan dipersoalkan, maka
mewujudkan supremasi hukum akan tetap sulit.
Ini berarti bahwa pengkajian dan implementasi hukum harus
mengintegrasikan pengetahuan sejarah (kapan dan di mana implantasi hukum
berhasil dan gagal), ilmu politik (peran apa yang dimainkan oleh hal-hal
seperti kekuasaan, gerakan, dan krisis politik ketika rule of the law mengalami
kemajuan atau kemunduran), dan ekonomi (karena tidak ada distorsi atau
ketaksetaraan kekuasaan yang
lebih besar daripada dalam
distribusi sumber daya material – kekayaan dan uang). Kita harus memisahkan pengertian kita tentang
demokrasi, hukum, dan ekonomi sehingga kita dapat mengurai hubungan-hubungannya
dan memahami asumsi yang kita buat. Dan
kemudian, setelah memahami elemen-elemen keseluruhan yang berbeda tadi,
kumpulkan kembali secara konseptual dengan pemahaman dan penguasaan yang lebih
besar dan mendalam.
Untuk mengembalikan
percakapan ini pada perayaan penting kita hari ini, saya ingin mengajukan
pertanyaan sederhana: Mau seperti apakah wujud perkuliahan di Fakultas Hukum
yang menganalisis hubungan mendasar antara ketaksetaraan kekuasaan yang ekstrim
dan pembentukan rule of law yang berhasil?
Jawaban atas pertanyaan ini saya serahkan kepada rekan-rekan saya yang
terhormat di FH UGM yang sedang merancang langkah-langkah menuju 75 tahun ke
depan sebagai para pemimpin penting dalam bidang hukum dan dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia.
Bibliografi
Fransiskus
Adhiyuda. 2019. “PUKAT UGM akan Bawa UU KPK ke Mahkamah Konstitusi.” TribunNews, 23 September.
<https://www.tribunnews.com/nasional/2019/09/23/pukat-ugmakan-bawa-uu-kpk-ke-mahkamah-konstitusi>.
Moch.
Fiqih Prawira Adjie. 2020. “How the KPK Is Losing Public Trust. Jakarta Post, October 11.
<https://www.thejakartapost.com/news/2020/10/11/explainer-how-the-kpk-is-losing-publictrust.html>.
M.
Rosseno Aji. 2019. “Ada 87 OTT di KPK Era Agus Rahardjo, 327 Orang Tersangka.” Tempo, 17 December.
<https://nasional.tempo.co/read/1284689/ada-87-ott-di-kpk-era-agusrahardjo-327-orang-tersangka>.
ANTARA.
2015. “DPR Set to Revise KPK Law.” Tempo,
October 9. <https://en.tempo.co/read/708012/dpr-set-to-revise-kpk-law>.
Iqra
Anugrah. 2020. “The Illiberal Turn in Indonesian Democracy.” The Asia-Pacific Journal, April 15, Vol.
18 No. 1, pp. 1-17. <
https://apjjf.org/2020/7/Anugraph.html>.
Rachel
Kleinfeld Belton. 2005. “Competing Definitions of the Rule of Law: Implications
for Practitioners.” Carnegie Papers, No. 55. Democracy and Rule of Law Project. Carnegie Endowment for International Peace.
Walter
Buckley. 1958. “Social Stratification and the Functional Theory of Social
Differentiation.” American Sociological
Review, 23, August, pp. 369-375.
Michael
Buehler. 2019. “Indonesia Takes a Wrong Turn in Crusade against Corruption. Financial Times, October 2.
<https://www.ft.com/content/048ecc9c-7819-3553-9ec7546dd19f09ae>.
Ryan
E. Carlin. 2012. “Rule-of-Law Typologies in Contemporary Societies.” The Justice System Journal Vol. 33, No.
2, pp. 154-173. <http://www.jstor.com/stable/23268812>.
Kingsley
Davis and Wilbert E. Moore. 1945. “Some Principles of Stratification.” American Sociological Review, April,
Vol. 10, No. 2, pp. 242-249.
<https://www.jstor.org/stable/2085643>.
Howard
Dick and Jeremy Mulholland. 2016. “The Politics of Corruption in Indonesia.” Georgetown Journal of International Affairs,
Winter/Spring, Vol. 17, No. 1, pp. 43-49. <https://www.jstor.org/stable/26396152>.
Gregory
K. Dow and Clyde G. Reed. 2013. “The Origins of Inequality: Insiders,
Outsiders, Elites, and Commoners.” Journal of Political Economy, June, Vol.
121, No. 3, pp. 609-641.
<https://www.jstor.org/stable/10.1086/670741>.
Martin
Gilens and Benjamin I. Page. 2014. “Testing Theories of American Politics:
Elites, Interest Groups, and Average Citizens.” Perspectives on Politics, September, Vol. 12 , No. 3, pp. 564-581.
< https://doi.org/10.1017/S1537592714001595>.
Ram
Gorni, “China: Rule of Law, Sometimes.” Asia
Times, July 3, 2003.
<http://www.atimes.com/atimes/China/EG03Ad03.html>.
Paul
Gowder. 2013. “The Rule of Law and Equality.” Law and Philosophy, September,
Vol. 32, No. 5, pp. 565-618.
https://www.jstor.org/stable/24572415
William Hurst. 2018. Ruling before the Law: The Politics of Legal
Regimes in China and Indonesia. Cambridge University Press.
Ihsanuddin.
2019. “Perumus UU KPK: KPK Menyimpang dari Tujuan Awal.” Kompas, September 9.
<https://nasional.kompas.com/read/2019/09/09/19373061/perumus-uu-kpk-kpkmenyimpang-dari-tujuan-awal>.
“Intimidating
the KPK.” 2012. Tempo, August 15.
<https://en.tempo.co/read/423697/intimidating-the-kpk>.
Mochammad
Jasin. 2011. “The Corruption Eradication Commission (KPK).” UNAFEI.
United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders. <https://www.unafei.or.jp/publications/pdf/GG5/GG5_Indonesia1.pdf>.
Paul
Kenny and Eve Warburton. 2021. “Paying Bribes in Indonesia.” New Mandala. 20 January.
<https://www.newmandala.org/wp-content/uploads/2021/01/Paying-bribes-inIndonesia_formatted.pdf>.
<https://www.newmandala.org/paying-bribes-in-indonesia/>.
Elizabeth
Kramer. 2019. “Democratization and Indonesia’s Anticorruption Movement,” in
Thushara Dibley and Michele Ford, Progressive
Politics in Democratic Indonesia. Ithaca:
Cornell
University Press, pp. 41-59.
<https://www.jstor.org/stable/10.7591/j.ctvpwhg5w.7>
Michèle
Lamont and Paul Pierson. 2019. “Inequality Generation and Persistence as
Multidimensional Processes.” Daedalus,
Summer, Vol. 148, No. 3, pp. 5-18. <https://www.jstor.org/stable/10.2307/48562995>.
John
McCormick. 2011. Machiavellian Democracy.
Cambridge: Cambridge University Press.
Jeremy
Mulholland. 2016. “Indonesia’s Anti-Corruption Drive,” Parts One and Two, New Mandala, 20 May.
<https://www.newmandala.org/indonesias-anti-corruption-drive-part-one/>
and
<https://www.newmandala.org/indonesias-anti-corruption-drive-part-two/>.
Jeremy
Mulholland and Arbi Sanit. 2020. “The Weakening of Indonesia’s Corruption
Eradication
Commission.” East Asia Forum, 28
January.
<https://www.eastasiaforum.org/2020/01/28/the-weakening-of-indonesias-corruptioneradication-commission/>.
Andre
Dedy Nainggolan. 2014. “Evolving Efforts on Corruption Enforcement.” UNAFEI. United Nations Asia and Far East
Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
<https://www.unafei.or.jp/publications/pdf/GG8/16_GG8_IP_Indonesia_Andre.pdf>.
Michael
Oakeshott. 1983. “The Rule of Law.” In What
Is History? and Other Essays. New
York: Barnes and Noble.
Costas
Panayotakis. 2014. “Capitalism, Meritocracy, and Social Stratification: A
Radical Reformulation of the Davis-Moore Thesis.” The American Journal of Economics and Sociology, January, Vol. 73,
No. 1, pp. 126-150. <https://www.jstor.org/stable/43818655>.
Irene
Putrie. 2016. “The KPK Experience: International Cooperation.” UNAFEI. United Nations Asia and Far East
Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
<https://www.unafei.or.jp/publications/pdf/GG10/18_CP_Indonesia_KPK.pdf>.
Cecilia
L. Ridgeway. 2019. “Status, Difference, and the Durability of Inequality.” In Why Is It Everywhere? Why Does It Matter?
Russell Sage Foundation.
<https://www.jstor.org/stable/10.7758/9781610448895.10>.
Maria
Paula Saffon and Nadia Urbinati. 2013. “Procedural Democracy, the Bulwark of
Equal Liberty.” Political Theory,
June, Vol. 41, No. 3, pp. 441-481.
<https://www.jstor.org/stable/23484433>.
Joseph
Schumpeter. 1942. Capitalism, Socialism,
and Democracy. Third Edition. New York: Harper & Brothers.
Dan Slater. 2011. Ordering Power: Contentious Politics and
Authoritarian Leviathans in Southeast Asia. Cambridge University Press.
Göran
Therborn and Sofia Aboim. 2014. “The Killing Fields of Inequality: Interview
with Göran Therborn.” Análise Social,
Vol. 49, No. 212, pp. 728-735.
<http://www.jstor.com/stable/43152839>.
Dirk
Tomsa. 2020. “Public Opinion Polling and Post-Truth Politics in Indonesia.” Contemporary Southeast Asia, April, Vol.
42, No. 1, pp. 1-27.
<https://www.jstor.org/stable/10.2307/26937782>.
Melvin M. Tumin. 1953.
“Some Principles of Stratification: A Critical Analysis.” American
Sociological Review, August, Vol. 18, No. 4, pp. 387-394.
<https://www.jstor.org/stable/2087551>.
Kim
Voss. 2010. “Enduring Legacy? Charles Tilly and ‘Durable Inequality.’” The American Sociologist, December, Vol.
41, No. 4, Remembering Charles Tilly, pp. 368-374. <https://www.jstor.org/stable/40983486>.
Jeffrey
A. Winters. 2011. Oligarchy. Cambridge
University Press.
_______________.
2014. “Oligarchy and Democracy in Indonesia.”
In Thomas Pepinsky and Michele Ford, Beyond
Oligarchy. Cornell University Press.
_______________.
2017. “Wealth Defense and the Complicity of Liberal Democracy.” Nomos, Vol. 58, American Society for
Political and Legal Philosophy, pp. 158-225.
<https://www.jstor.org/stable/10.2307/26785952>.
Dennis
H. Wrong. 1959. “The Functional Theory of Stratification: Some Neglected
Considerations.” American Sociological
Review, December, Vol. 24, No. 6, pp. 772-782.
<https://www.jstor.org/stable/2088564>.
[1] Dr. Martin Luther King
Jr., “Tetap Sadar melewati Revolusi Besar.” Pidato disampaikan di National
Cathedral, Washington, D.C., 31 Maret 1968.
[2] Martin Gilens dan Benjamin
Page (2014) menganalisis kekuatan rata-rata warga negara dibandingkan dengan
oligarki dan elit. Sebuah studi kuantitatif terhadap ribuan keputusan di
Kongres AS menunjukkan bahwa, “Tidak hanya warga negara biasa tidak memiliki
kekuatan substansial yang khas atas keputusan pembuatan kebijakan; mereka
sedikit atau sama sekali tidak memiliki pengaruh independen terhadap kebijakan.
Sebaliknya, elit ekonomi diperkirakan memiliki dampak yang cukup besar, sangat
signifikan, dan independen terhadap kebijakan.” Ketika berbicara tentang
pengaruh terhadap para perwakilan di Kongres, “apa yang dipikirkan masyarakat
umum hampir tak berarti” (hlm. 572).
[3] Saffon dan Urbinati
(2013), dalam pembelaan mereka terhadap demokrasi prosedural yang berapi-api,
menulis: “Visi proseduralis menegaskan bahwa kesetaraan kebebasan politik
adalah kebaikan terpenting yang harus diperjuangkan oleh demokrasi.” Mereka
melanjutkan, “Kesetaraan kebebasan menyiratkan tidak hanya hak untuk
berpartisipasi dalam politik melalui pemungutan suara dan mengekspresikan
pikiran secara bebas tetapi melakukannya dalam kondisi kesempatan yang setara,
yang memerlukan perlindungan hak-hak sipil, politik, dan sosial dasar dengan
tujuan memastikan partisipasi setara yang bermakna.” Formulasi naif ini
mengabaikan efek ketidaksetaraan kekuasaan yang ekstrim pada demokrasi. Seperti
yang dijelaskan oleh John
McCormick (2011) dalam
Demokrasi Machiavellian, yang tidak dilakukan oleh Saffon dan Urbinati,
demokrasi bahkan dalam jumlah terbaiknya menjadi “oligarki elektif” di semua
masyarakat dengan ketaksetaraan kekayaan yang sangat besar.
[4] Penggunaan jajak pendapat
publik secara luas di awal siklus pemilu memberikan pengaruh kepada warga
negara biasa sebelum hari pemilu. Perusahaan yang memberikan layanan ini kepada
politisi menjamur di Indonesia setelah 1998. Jaringan elit dan partai politik
mungkin memiliki kandidat yang mereka sukai untuk menjabat. Tetapi jumlah jajak
pendapat yang terusmenerus suram menyulitkan mereka untuk menarik donasi besar
dari oligarki buat mendanai kampanye yang semakin mahal. Guna mengatasi kendala
ini, kandidat mencoba membayar lembaga survei untuk menghasilkan angka yang
mengesankan. Beberapa oligarki besar Indonesia menanggapi hal ini dengan
membentuk tim pemungutan suara internal mereka sendiri untuk memastikan agar
mereka memiliki angka yang akurat sebelum memberikan uang kepada kandidat yang
haus uang. Penelitian terbaru oleh Dirk Tomsa (2020, hlm. 1) menggugat
pandangan jajak pendapat pemberdayaan-massa ini, menemukan bahwa “daya tanggap
demokratis tampak telah menurun dan bukannya membaik meskipun survei opini publik
terus bertambah jumlahnya.”
[5] Wrong (1959, p. 775)
mencatat bahwa Davis dan Moore tidak pernah menunjukkan bahwa “distribusi
penghargaan yang lebih setara pada prinsipnya tidak sesuai dengan pemeliharaan
pembagian kerja yang kompleks.” Untuk pembicaraan kritis yang lebih baru
tentang tesis DavisMoore, lihat Panayotakis (2014).
[6] Tentang asal mula dan
perkembangan ketaksetaraan ekstrim sejak pra-sejarah hingga saat ini, lihat
Winters (2017). Untuk sumber penting lainnya tentang ketidaksetaraan, lihat Voss
(2010), Dow dan Reed (2013), Therborn dan Aboim (2014), Lamont dan Pierson
(2019), dan Ridgeway (2019).
[7] Ketika seseorang sudah
punya modal awal yang signifikan ia akan jauh lebih mudah mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan. Inilah sebabnya mengapa cerita miskin menjadi kaya
sangat mengesankan kita daripada kekayaan dan kekuasaan yang diwariskan melalui
keluarga dan jaringan. Meskipun dengan motif yang berbeda, yang lemah dan yang
kuat samasama merayakan orang-orang yang bisa lolos melwati celah dalam sistem
atau melewati hambatan mobilitas sosial yang tinggi.
[8] Dalam hal ini, Dennis
Wrong (1959, hlm. 775) menyesali “kesulitan abadi yang dihadapi oleh para
reformis dan utopis dalam ‘membuat lompatan dari sejarah menuju kebebasan.’”
[9] Tentang pendefinisian rule
of law, lihat Oakeshott 1983, Belton 2005, Carlin 2012, dan Gowder 2013.
[10] Misalnya, dalam kasus
China: “Jika terjadi kasus antara dua orang biasa, maka hukum cukup kuat.
Tetapi jika satu orang adalah pejabat perusahaan atau dari pemerintah, maka
hukum tak berdaya”(Gorni 2003).
[11] Tentang operasi rutin
sistem hukum Indonesia di tingkat yang lazim, lihat Hurst 2018. 14
Perhatikan bahwa fokus pada kekuasaan ini sangat berbeda dari isu-isu seperti
independensi peradilan, pelatihan hakim, dan bidang reformasi hukum lainnya.
Investasi semacam itu bagus untuk kualitas dan kekuatan hukum secara umum,
tetapi tidak bisa menghadapi tantangantantangan kekuasaan khusus guna
menjinakkan para oligarki dan elit. Kasus Magna Carta
[12] Lihat Elizabeth Kramer
(2019) untuk gambaran yang sangat baik tentang LSM dan elemen masyarakat sipil
lainnya yang berjuang keras untuk membentuk KPK. Dia secara khusus menyebutkan
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Indonesia Procurement Watch (IPW),
Indonesian Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), Transparency International Indonesia (TII), Gerakan Anti Korupsi
(GeRAK), Advokasi Komisi Pemberantasan Korupsi (AKAK), dan Gerakan Anti
Politisi Busuk (GAPB).
[13] Lihat Kenny dan Warburton
(2021) tentang pembayaran suap di Indonesia. Perhatikan bahwa pengurutan itu
penting. Ekonomi ekstraksi Indonesia muncul sebelum supremasi hukum dibentuk
dan menjadi kuat. Norwegia adalah contoh negara yang telah mendirikan institusi
hukum yang cukup kuat sebelum kebangkitan dan dominasi industri minyak dan gas
ekstraktif yang mengangkat negara itu dari kemiskinan menjadi kekayaan Eropa.
Memang sulit tetapi bukan tidak mungkin merongrong lembaga hukum yang sudah
kuat dan sangat mapan.
[14] Banyak hal telah ditulis
orang tentang upaya keras selama dekade terakhir untuk menetralkan KPK. Untuk
ulasan yang bagus lihat, “Intimidating the KPK,” Tempo, 15 Agustus 2012; “DPR
Akan Merevisi UU KPK,” Tempo, 9 Oktober 2015; Mulholland 2016;
Atmasasmita 2019; Adhiyuda 2019; Buehler 2019; Aji 2019; Ihsanuddin 2019;
Mulholland dan Sanit 2020; dan Adjie 2020.
[15] Untuk penilaian dari
pejabat KPK tentang pencapaian dan tantangan Komisi itu, lihat Jasin 2011,
Nainggolan 2014, dan Putrie 2016.
[16] Hal yang sama juga
berlaku untuk sisi lainnya. Naif mengandalkan moralitas individu untuk
memperlambat, apalagi mengakhiri, korupsi yang merajalela dan
pelanggaran-pelanggaran serupa. Keyakinan dan prinsip pribadi penting, tetapi
tidak efektif jika individu dikelilingi oleh relasi kekuasaan dan kekuatan lain
yang mendukung korupsi dan dapat membuat orang benarbenar enggan untuk
melakukan partisipasi berisiko dalam posisi atau karirnya.
Comments