Aturan SNI Terbaru: Prosedur Longgar, Sanksi Ketat
Prosedur pengurusan
SNI dipangkas. Namun, ada penambahan sanksi dalam hal pengawasan.
Pemerintah menyatakan komitmennya untuk meningkatkan daya saing
industri nasional. Terkait dengan hal itu, Menteri Perdagangan pun mencabut
perizinan mengenai pengawasan pra pasar terhadap barang impor yang telah
diberlakukan standar nasional Indonesia (SNI).
Deregulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) terbaru tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan
Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Permendag No.72/M-DAG/PER/9/2015 tersebut
sekaligus menjadi perubahan ketiga atas Permendag No.14/M-DAG/PER/3/2007 yang
sebelumnya juga sudah diubah pada tahun lalu.
Ada 14 ketentuan yang termuat dalam Permendag teranyar.
Ketentuan tersebut antara lain menghapus beberapa aturan dalam Permendag
terlebih dahulu. Misalnya, ketentuan mengenai Surat Pendaftaran Barang (SPB).
Permendag 2015 menyatakan, pengawasan pra pasar barang impor hanya dilakukan
melalui Nomor Pendaftaran Barang (NPB). Penerbitan NPB pun kini menggunakan
sistem komputerisasi. Sehingga, pelaku usaha cukup mengakses Indonesia
National Single Window (INSW) secara online.
Dalam Permendag Tahun 2007, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
16 ayat (1), SPB merupakan dokumen impor yang di dalamnya terdapat NPB.
Sementara itu, dalam Permendag tahun 2015 disebutkan bahwa NPB tetap wajib
dimiliki meskipun ketentuan mengenai SPB ditiadakan. Selain itu, jika
sebelumnya SPB diharuskan ada dalam setiap aktivitas impor, kini NPB hanya
berlaku sesuai dengan masa berlaku Sertifikat Produk
Penggunaan Tanda (SPPT) SNI dan tidak dapat diperpanjang. Hanya saja, NPB yang sudah terlanjur tebit sebelum adanya Permendag 2015, dinyatakan tetap berlaku.
Penggunaan Tanda (SPPT) SNI dan tidak dapat diperpanjang. Hanya saja, NPB yang sudah terlanjur tebit sebelum adanya Permendag 2015, dinyatakan tetap berlaku.
Penghapusan SPB juga mengubah prosedur re-ekspor. Sebelumnya,
jika permohonan SPB ditolak atau ada ketidaksesuain barang dengan SNI, maka
pengusaha harus melakukan re-ekspor. Kini, jika terbukti barang yang dijual
tidak sesuai dengan SNI, maka NPB akan dibekukan hingga pengusaha menyampaikan
hasil perbaikannya kepada pemerintah. Sementara itu, re-ekspor dilakukan jika
pengusaha terbukti tidak memiliki NPB. Adapun mengenai biaya pelaksanaan masih
tetap harus ditanggung perusahaan.
Mengenai tata cara pendaftaran barang pun menjadi lebih
sederhana. Di dalam Permendag 2015 hanya disyaratkan pengajuan perolehan NPB
dengan melampirkan foto kopi angka pengenal importir (API), foto kopi SPPT SNI
atau sertifikat kesesuaian lain, foto barang yang didaftarkan, dan untuk
pendaftaran barang tertentu menyertakan surat pendaftaran/ijin tipe.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan aturan yang berlaku
sebelumnya, yaitu Permendag tahun 2014, pengusaha juga diwajibkan melampirkan
surat pernyataan kesediaan mencantumkan tanda SNI dan NPB pada barang atau
kemasan produknya. Belum lagi, harus ada foto kopi packing list, invoice,
dan Bill of Landing (B/L), Airway Bill non-Negotiable,
ataupunInland Bill. Importir yang namanya tercantum dalam B/L juga harus
disebutkan dalam sebuah surat pernyataan dari pabrikan luar negeri bahwa produk
yang diekspornya telah sesuai dengan SNI.
Meskipun dalam pendaftaran NPB tak diperlukan lagi surat
pernyataan kesediaan mencantumkan tanda SNI dan NPB dalam barang atau kemasan
produk, namun Permendag 2015 tetap mewajibkan pencantuman NPB itu. Pasal 19
Permendag telah diubah sehingga ketentuannya mengatur bahwa setiap barang atau
kemasan yang akan diperdagangkan wajib mencantumkan NPB.
Bahkan, kini sanksi atas kelalaian tidak mencantumkan NPB
menjadi lebih berat. Sebelumnya, jika tidak ada NPB dalam produk atau kemasan,
pengusaha hanya menerima teguran tertulis. Saat ini, sanksi yang dikenakan
langsung berupa larangan menjual produk tersebut. Jika sanksi tersebut dalam
satu bulan tidak memberikan efek jera, NPB pengusaha langsung dibekukan.
Dalam hal pengawasan SNI, Permendag 2015 menambahkan satu pasal
baru. Pasal 6A mengatur bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan barang wajib
mengetahui identitas pemasok barang yang diperdagangkannya. Disebutkan, paling
tidak ada dua hal yang menjadi identitas minimal pemasok barang. Hal itu adalah
nama dan alamat lengkap baik bagi tiap produsen, importir, distributor,
subdistributor, maupun pemasok lainnya.
Ketentuan mengenai asal-usul barang tak hanya sekadar kewajiban
bagi pengusaha. Sebab, ada sanksi menanti bagi pengusaha yang tak mematuhinya.
Dalam Permendag 2015 disebutkan, sanksi yang diberikan adalah sanksi
administratif, bisa berupa teguran, larangan memperdagangkan produk tersebut,
atau bahkan pencabutan izin usaha.
Pengawasan juga diperketat dengan penambahan mekanisme uji
petik. Permendag terbaru menyatakan bahwa sewaktu-waktu pihak petugas
Kementerian Perdagangan dapat mengambil sampel barang yang telah mendapat SNI
untuk diuji. Barang itu harus diambil langsung dari gudang perusahaan. Hal ini
tak lain dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap konsumen. Oleh karena
itu, Permendag mengamanatkan pembentukan Peraturan Direktur Jenderal yang
mengatur secara khusus mengenai hal ini, jika dipandang perlu.
Sumber
Comments