Penerapan Standard Nasional Indonesia - SNI
Penerapan
SNI pada
dasarnya bersifat sukarela, dengan demikian untuk
menjamin keberterimaan dan pemanfaatan SNI secara luas, penerapan norma -
keterbukaan bagi semua pemangku kepentingan, transparan dan tidak memihak,
serta selaras dengan perkembangan standar internasional - merupakan faktor yang
sangat penting.
Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum,
keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.
Pemberlakuan
SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah
yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk
(regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan
SNI menjadi terlarang.
Dengan
demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk
menghindarkan sejumlah dampak sebagai berikut:
(a) menghambat persaingan yang sehat;
(b) menghambat inovasi dan;
(c) menghambat perkembangan UKM.
(b) menghambat inovasi dan;
(c) menghambat perkembangan UKM.
Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib
bagi kegiatan atau produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi,
sehingga pengaturan kegiatan dan peredaran produk mutlak diperlukan
Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan
pasar, baik pengawasan pra-pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang
telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk
mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan
SNI itu. Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat
sukarela merupakan pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian
kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua
pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian kesesuaian berfungsi sebagai
bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.
Mengingat bahwa pemberlakuan regulasi teknis di suatu
negara juga berlaku untuk produk impor, maka untuk menghindarkan terjadinya
hambatan perdagangan internasional/negara anggota WTO termasuk Indonesia telah
menyepakati Agreement on Technical Barrier to Trade
(TBT) dan Agreement on Sanitary and Phyto Sanitary Measures (SPS).
Upaya
pengurangan hambatan perdagangan tersebut akan berjalan dengan baik apabila
masing-masing negara dalam memberlakukan standar wajib, menerapkan Good
Regulatory Practices.
Untuk perjanjian TBT pada prinsipnya mengatur
hal-hal sebagai berikut:
Sejauh dimungkinkan, pengembangan standar nasional tidak
boleh ditujukan untuk atau berdampak menimbulkan hambatan perdagangan. Oleh
karena itu pengembangan standar nasional diupayakan mengacu dan tidak
menduplikasi standar internasional, memberikan kesempatan bagi pemangku
kepentingan untuk memberikan tanggapan dan masukan, serta dipublikasikan
melalui media yang dapat diakses secara luas. Apabila perbedaan dengan standar internasional
tidak dapat dihindarkan untuk tujuan yang sah, maka perbedaannya harus dengan
mudah diketahui dan lembaga standar nasional harus bersedia memberikan
penjelasan kepada semua pihak yang memerlukan, mengapa perbedaan tersebut
diterapkan.
Penetapan
regulasi teknis termasuk pemberlakuan standar wajib tidak boleh dimaksudkan
untuk atau berdampak menimbulkan hambatan perdagangan yang berkelebihan. Oleh
karena itu sejauh dapat mencapai tujuannya, suatu /regulasi teknis harus
mengacu pada standar internasional. Apabila untuk keperluan yang sah penerapan
ketentuan teknis yang berbeda dengan standar internasional tidak dapat
dihindarkan, maka rencana regulasi teknis tersebut harus diumumkan (notification) untuk mermberikan kesempatan bagi
semua pihak di negara anggota WTO lain untuk bertanya dan memberikan pandangan (enquiry) selama sedikitnya 60 hari. Untuk
keperluan itu setiap negara anggota WTO harus menetapkan lembaga yang berfungsi
sebagai notification body dan enquiry point. Di
Indonesia, BSN telah ditunjuk sebagai notification body dan enquiry point untuk
perjanjian TBT. Untuk memberikan kesempatan semua pihak
mempersiapkan diri, suatu regulasi teknis atau penerapan standar wajib baru
dapat diberlakukan secara efektif sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
ditetapkan. Pemberlakuan regulasi teknis tidak boleh membedakan produk yang
diproduksi di dalam negeri dengan produk yang diproduksi di negara lain, dan
tidak mendiskriminasikan produk dari suatu negara tertentu dengan produk dari
negara lainnya.
Penilaian kesesuaian terhadap produk dari luar negeri
harus sama dengan penilaian kesesuaian bagi produk dalam negeri, dan tidak
menerapkan perlakuan yang diskriminatif bagi negara yang berbeda. Sejauh
mungkin setiap negara anggota WTO harus mengupayakan agar pelaksanaan penilaian
kesesuaian bagi barang impor dapat diakses dengan mudah di negara produsen dan
tidak menimbulkan beban yang berkelebihan. Oleh karena itu, sejauh dimungkinkan
sistem penilaian kesesuaian yang ada di negara lain dapat diterima. Untuk
keperluan itu, negara anggota WTO harus memberikan tanggapan positif terhadap
permintaan negara lain untuk menjalin perjanjian MRA.
Peningkatan persepsi
masyarakat terhadap standar dan penilaian kesesuaian adalah hal mutlak yang
harus dilakukan oleh BSN, mengingat hingga saat ini kesadaran masyarakat
didalam memproduksi dan atau mengkonsumsi suatu produk belumlah didasarkan atas
pengetahuan terhadap standar/mutu produknya melainkan masih didasarkan atas
pertimbangan harga. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap standar
dapat dilihat dari banyaknya produk-produk luar negeri yang dikonsumsi
masyarakat yang tidak sesuai dengan standar dan rendahnya kesadaran produsen
dalam menerapkan standar, kecuali produk-produk yang dikenakan standar wajib.
Untuk meningkatkan persepsi masyarakat dibutuhkan; kampanye nasional
standardisasi secara terus menerus dan berkesinambungan, program edukasi dan
penyadaran masyarakat, pembuatan kurikulum pelatihan standardisasi, peningkatan
partisipasi masyarakat serta mendorong keterlibatan lembaga-lembaga pelatihan
dalam mendidik dan membina tenaga ahli standardisasi.
Comments