MANTAN PRESIDEN SOEHARTO, PENGEMBANG INDUSTRI DASAR DAN STRATEGIS
ERA Presiden Soeharto,
1996-1998, menjadi peletak dasar sektor industri. Di sisi lain, penguatan
sektor, industri strategis juga menjadi perhatian penguasa Orde Baru tersebut.
Sebut saja misalnya pengembangan industri strategis seperti PT Pindad. Produsen
alat militer dan mesiu, alat elektrik, mesin industri serta komponen itu
bermula dari bengkel peralatan militer di Surabaya dengan nama Artillerie
Constructie Winkel (ACW) yang didirikan pada 1808.Selanjutnya pabrik
dipindahkan ke Bandung pada 1923. Pemerintah Belanda pada 1950 menyerahkan
pabrik tersebut kepada Pemerintah Indonesia, kemudian pabrik tersebut diberi '
nama Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM) yang berlokasi di PT Pindad sekarang
ini.
Selanjutnya lewat
Keputusan Presiden RI No. 59 tahun 1983 tanggal 29 April 1983 PT Pindad
(Perindustrian TNI-AD) beralih status menjadi Badan Usaha Milik Negara Industri
Strategis (BUMNIS) dengan nama PT Pindad (Persero). Pada 2002 PT Pindad
(Persero) beralih di bawah pembinaan Kementerian BUMN.
Industri strategis lainnya
adalah pabrik pembuatan pesawat PI1 Dirgantara Indonesia (PT DI). . Industri
ini pertama kali didirikan bernama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN).
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara pertamayang bisa memproduksi
pesawat. Pesanan pun berdatangan dari berbagai negara.
Dirintis Nurtanio
Pringgoadisuryo dan kemudian dikembangkan BJ Habibie, PT1 DI sesungguhnya telah
dapat segalanya (Majalah Angkasa, No. 11 Agustus 2003 Tahun XIII). Dana besar,
fasilitas, serta dukungan politik. Setiap melawat keluar negeri, Presiden
Soeharto bahkan ikut menjajakan pesawat buatan PTJH. Kepada seluruh operator
penerbangan domestik, juga ditekankan betapa , penting membeli produk sendiri seperti
CN-235, NC-212, NBO105, dan NAS 332.Sejauh, itu konsep Soeharto sudah benar dan
lazim dilakukan kepala negara negeri lain yang punya industri kedirgantaraan.
Selain industri alat
perang dan pesawat terbang, Soeharto juga mengembangkan industri strategis
lainnya yakni PT PAL. BUMN strategis itu memiliki empat divisi produksi. Divisi
yang pertama adalah divisi kapal niaga. Divisi ini mampu memproduksi kapal
hingga 50.000 dead weight ton (DWT), seperti kapal double skin bulk carrier
(DSBC) 45.000 DWT, kapal tanker (17.500 DWT), kapal kontainer (1.600 TEU), dan
semi kontainer (4.180 DWT).
Serta, floating production
unit, kapal penumpang, tongkang BBM (300 ton), dry cargo vessel (18.500 DWT),
dan tuna long line (60GT).
Divisi kedua adalah divisi
kapal perang. Divisi ini memproduksi kapal-kapal khusus, seperti fast patrol
boat (28 M), fast patrol boat police (28 M), fast patrol boat (14 M), (Jan fast
patrol boat (57 M). Selanjutnya, divisi rekayasa umum yang memproduksi komponen
turbin uap dan gas, seperti BOP, heat exchanger, HP Heater, gerta LP Heater.
Gas compressor module compartment, oil and gas compartment, dan barge mounted
power plant. Divisi keempat adalah divisi perbaikan dan pemeliharaan. Pada
divisi ini PT PAL Indonesia melakukan reparasi dan pemeliharaan kapal serta
rekayasa umum, overhaul kapal selam, kapal niaga, kapal perang, dan sebagainya.
Selain mengembangkan
industri alat perang, pesawat udara, dan kapal laut, rezim Soeharto juga
mengembangkan industri strategis lainnya yakni PT Inka, PT Pindad, PT Inti, PT
LEN, PT Krakatau Steel, PT Barata, PT Dahana, dan PT Boma Bisma Indra: Bidang
produksinya beragam mulai dari pembuatan gerbong dan mesin kereta api, alat
elektronik dan sistem telekomunikasi, bahan peledak hingga mesin-mesin industri
berat.
Selain industri strategis
tersebut, semasa pemerintahannya, mantan Presiden Soeharto juga meletakkandasar
pengembangan industri kimia hulu seperti PT Chandra Asri, pengembangan industri
semen serta otomotif.
Proyek olefin PT Chandra
Asri memang sempat dibekukan. Namun, perusahaan milik pengusaha Prayogo
Pangestu tersebut tetap berjalan mulus. Proyek yang diresmikan Presiden
Soeharto itu memakan investasi sekitar US$ 1,8 miliar. Chandra Asri menjadi
penting karena merupakan produsen kimia hulu yang banyak dibutuhkan industri di
dalam negeri.
Saat ini kebutuhan etilene
di Indonesia yang mencapai sekitar 1,4 juta ton per tahun hanya mampu dipasok
satu produsen etilene, yaitu Chandra Asri yang produksinya setahun hanya 525
ribu ton. Sedangkan, sekitar 900 ribu ton lainnya diimpor dari Singapura, Korea
Selatan, danTimur Tengah. "Jadi, kita membutuhkan 1,5 sampai dua kali
pabrik seperti Chandra Asri," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik
dan Olefin Indonesia (Inaplast) Didie W Soewondho, beberapa waktu lalu.Kebijakan
di sektor industri era kepemimpinan Presiden Soeharto jumlahnya masih panjang.
Namun, dari beberapa
kebijakan di atas, sebagai peletak dan pengembang industri dasar dan strategis,
mantan presiden kelahiran Desa Godean, Yogyakarta itu, wajar mendapat pujian
sebagai Bapak Pembangunan. Tentu, di luar segala kekurangan dan kelemahan
kebijakan ekonomi di bidang industri, Soeharto bukan sosok sembarangan bagi
perkembangan industri nasional. Ada beberapa rencana penting yang memang belum
terwujud. Misalnyasaja kebijakan mobil nasional (mobnas). Cita-cita membangun
industri mobil hasil karya dan merek bangsa sendiri te/nyata masih banyak
menghadapi tantangan. Para produsen asing, khususnya produsen Jepang, amat
berkepentingan memperluas cengkeramannya di wilayah Asia yang memiliki penduduk
terbanyak di dunia, (ed)
Sumber: PT. Krakatau
Comments