Agenda Balkanisasi Mengancam Indonesia
Agenda Balkanisasi Mengancam Indonesia
Setelah Afghanistan, Irak,
Libya, Suriah dan Mesir, kini Indonesia masuk pada fase aktif operasi devide
at impera (Balkanisasi) yang dijalankan Barat secara terukur.
“Mau Terong, atau terima Pentungan?” Tidak dapat
dipungkiri bahwa Amerika Serikat pada khususnya dan Barat pada umumnya tengah
menghadapi kondisi ekonomi yang sulit,bukan hanya dikarenakan pertumbuhan
ekonomi China-India dan Negara-negara lain yang mulai melunturkan dominasi dan
hagemoni ekonomi Barat, melainkan juga Barat yang telah berulangkali mengalami
krisis Bubble economic yang karenanya mereka membutuhkan jalan keluar atas
kondisi tersebut, dan sangat jelas bahwa mereka kini membutuhkan pasar baru
untuk lemparan product-product mereka dan sumber daya alam lain (yang sama
dan/atau lebih murah) untuk menekan biaya produksi.
Lalu, dimana keterkaitannya dengan Indonesia?
Terkait
Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang limpah dan nilai tawar
dalam bidang politik Amerika terhadap Indonesia.Mari kita melakukan kilas balik.
Pada 28 April
2013 lalu, kantor perwakilan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Oxford, Inggris
secara resmi dibuka. Tak pelak lagi, hal ini mengindikasikan semakin kuatnya
tren ke arah Internasionalisasi isu Papua, tidak saja di Amerika Serikat,
melainkan juga di Inggris, Australia dan Belanda.
Pembukaan
kantor perwakilan OPM di Inggris ini dihadiri oleh Walikota Oxford Mohammaed
Niaz Abbasi, anggota Parlemen Inggris,Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxford,
Elise Benjamin. Bagaimanapun juga hal ini secara terang-benderang menggambarkan
adanya dukungan nyata dari berbagai elemen strategis Inggris baik di
pemerintahan, parlemen dan tentu saja Lembaga Swadaya Masyarakat Inggris yang
sangat menentukan arah kebijakan Pemerintah Inggris untuk kedepannya –
sekalipun dalam komunikasi government to government belum menunjukkan ketegasan
Inggris saat ini kea rah itu.
Mari kita simak
pernyataan anggota parlemen Andrew Smith, dalam acara pembukaan kantor
perwakilan OPM di Inggris tersebut.
Dikatakannya;
“Kami akan bekerja sama dengan orang-orang di kantor baru kami di Port Moresby,
PNG pada strategi menuju tujuan penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.”
Pernyataan
Andrew Smith itu harus dibaca sebagai isyarat bahwa gerakan internasionalisasi
Papua sedang gencar dilakukan baik di lini pemerintahan maupun parlemen di
Amerika, Inggris, Australia dan Belanda. Penekanan Andrew Smith terkait upaya
melibatkan PNG, harus dibaca sebagai bagian integral dari aliansi strategis
Amerika Serikat-Inggris-Australia untuk mengInternasionalisasikan isu Papua,
sebagai langkah awal menuju pemecah-belahan Indonesia dalam konteks kemerdekaan
Papua.
Kekhawatiran
tersebut kiranya cukup beralasan, karena dua bulan setelah peresmian kantor
perwakilan OPM di Oxford, Inggris, kelompok Jhon Otto Ondawame dan Andy
Ayamiseba melalui organisasi West Papua National National Coalition for
Liberation (WPNCL) diundang ke KTT ke-19 forum negara-negara rumpun Melanesia
(Melanesian Spearhead Group/ MSG) di Noumea, New Caledonia.
Gerakan Internasionalisasi Papua Bermula dari Washington
Ini bukan rumor
ini bukan gosip. Sebuah sumber di Kementerian Luar Negeri RI mengungkap adanya
usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika
kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan
Papua secara bertahap. Gerakan ini sudah bermula sejak awal 2000-an.
Informasi ini
kiranya masuk akal dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta
kepresidenan Gedung Putih sejak 2008 lalu, praktis politik luar negeri Amerika
amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal
hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi
Demokrat yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya
memang akan diberi angin. Maka kejadian pembukaan kantor perwakilan OPM di
Inggris April lalu, sudah seharusnya dipandang sebagai bukti nyata bahwa
gerakan internasionalisasi Papua yang dirintis oleh beberapa anggota Kongres
dari Partai Demokrat di Washington, memang tidak bisa dianggap enteng.
Skenario
semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari segi keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sindikasi Modus Kosovo bagi Papua Merdeka
Dalam teori
operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM dengan
memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk menciptakan suasana
chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara TNI-Polri dan OPM yang
dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.
Skenario
semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini sudah
dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka
lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung terbentuknya Kosovo Liberation
Army (KLA).
Seperti halnya
ketika Clinton mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya hendak mencitrakan OPM
sebagai entitas politik yang masih eksis di Papua dengan adanya serangkaian
kerusuhan yang dipicu oleh OPM sepanjang 2009 ini.
Lucunya,
beberapa elemen LSM asing di Papua, akan menyorot setiap serangan balasan TNI
dan Polri terhadap ulah OPM memicu kerusuhan, sebagai tindakan melanggar HAM.
Tapi sebenarnya ini skenario kuno yang mana aparat intelijen kita seperti BIN
maupun BAIS sudah tahu hal itu .
Isu-isu HAM,
memang menjadi ”jualan politik” Amerika mendukung kemerdekaan Papua. Karena
melalui sarana itu pula Washington akan memiliki dalih untuk mengintervensi
penyelesaian internal konflik di Papua.
Di sinilah sisi
rawannya, sebab sebagai pengusung Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, mengharuskan
Departemen Luar Negeri Amerika melaporkan kepada kongres Amerika terkait
pelanggaran- pelanggaran HAM di Negara manapun termasuk di Papua.
Maka, kejadian
tewasnya anggota TNI, jangan dibaca semata sebagai konsekwesnsi Perang antara
TNI dan OPM, tapi lebih dari itu, untuk membenturkan antara TNI dan warga sipil
Papua, yang nantinya seakan semua warga sipil Papua adalah OPM.
Rand Corporation Rekomendasikan Indonesia Dipecah Jadi 7 (tujuh)
Wilayah.
Dalam buku
‘Tangan-Tangan Amerika (Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia)’,
terbitan Global Future Institute pada 2010, bahwa dalam skema yang dirancang
Pentagon melalui rekomendasi studi Rand Corporation, Indonesia harus dibagi 8
wilayah, yang mana salah satu prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua.
Ini yang kemudian saya istilahkan dalam bukut tersebut sebagai BALKANISASI
NUSANTARA.
Ini jelas tidak
main-main mengingat kenyataan bahwa Rand Corporation merupakan sebuah badan
riset dan pengembangan strategis di Amerika yang dikenal sering melayani secara
akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas dukungan
dana dari Pentagon pula. Sehingga bisa dipastikan rekomendasi-rekomendasi studi
Rand Corporation ditujukan untuk menyuarakan kebijakan strategis Pentagon dan
Gedung Putih.
Dengan
demikian, internasionalisasi Papua, yang sudah menerapkan otonomi daerah,
ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda mereka hingga sekarang. Bahkan
dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah
menjadi 7 bagian.
Sekadar
informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian
tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden
Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation
atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.
Dengan
demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation tersebut
akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi Rand Corporation dikeluarkan
ketika suami Hillary masih berkuasa.
Dalam skenario
Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Yang sudah
terpisah Yaitu Timor Timur yang terjadi pada 1999 masa pemerinthan BJ Habibie.
Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi untuk pecah melalui
“sandiwara” MoU Helsinki dan kemungkinan (telah) menangnya Partai Lokal di Aceh
pada Pemilu 2009 tahun ini. Kemudian Ambon, Irian Jaya,Kalimantan Timur, Riau,
Bali. Dan sisanya tetap Indonesia.
Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka
besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan
aksi militer dalam berbagai bentuk.
Dalam skema
ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton, yang di era kedua kepresidenan Obama
diteruskan oleh Menlu John Kerry, akan menjadi elemen yang paling efektif untuk
menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.
Dengan kata
lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Irian Jaya, akan
dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi dan penegakan HAM.
Dorongan untuk
memperoleh daerah dan pengaruh nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan
Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski dengan metode yang
berbeda.
Selain Amerika
dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris (selain pembukaan Kantor
Perwakilannya) kiranya juga harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008,
telah diluncurkan apa yang dinamakan International Parliaments for West Papua
(IPWP) di House of Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.
Misi IPWP tiada
lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora internasional. Meski tidak mewakili
negara ataupun parlemen suatu negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa
diabaikan begitu saja. Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar
referendum di Papua, penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan
perdamaian di Papua di bawah pengawasan PBB.
Jelaslah sudah
ini sebuah agenda berdasarkan skema Kosovo merdeka. Apalagi ketika IPWP juga
mendesak Sekjen PBB meninjau kembali peranan PBB dalam (SAH ATAU TIDAKNYA)
pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) / REFERENDUM (penyatuan Papua ke
NKRI) tahun 1969, sekaligus mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi
HAM di Papua.
(Jauh hari
sebelumnya, dikatakan bahwa setelah pembukaan Kantor Perwakilan OPM di Inggris
tersebut- jika kemudia OPM membuka kantor perwakilannya di Belanda, maka
kiranya menjadi “pertanda” bahwa Uni Eropa turut berperan besar dalam gerakan
internasionalisasi Papua ini).
Dan pada
kenyataannya, pada Kamis 15 Augustus 2013 kemarin, dikabarkan Kantor Perwakilan
Papua Merdeka telah dibuka.
Respon Publik
atas pembukaan Kantor Perwakilan Papua Merdeka di Belanda tersebut, di dalam
Negeri, Unjuk di gelar oleh aktivis Komite Nasional Papua Barat, KNPB di
berbagai kota di Propinsi Papua, mendukung peresmian kantor Organisasi Papua
Merdeka, OPM, di Denhag, Belanda tersebut.
Selain digelar
di Jayapura, aksi juga digelar di beberapa kota lainnya, seperti Fakfak,
Timika, Wamena, Boven Digul, Merauke, Sorong, serta Nabire.
Kodam Cenderawasih telah mengklarifikasi adanya unjuk rasa dukungan bagi Papua Merdeka ini sekalipun dikatakannya “tidak besar-besaran” .
Terlepas dari klarifikasi Kodam Cendrawasih, di Sorong, massa rakyat Papua dari berbagai elemen perjuangan di Sorong juga mengambil bagian dengan menggelar ibadah syukuran guna memberikan dukungan atas pembukakan kantor Papua Merdeka di Belanda tersebut.
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua meminta Papua segera merdeka. Unjuk rasa tersebut digelar di Tugu Kujang, Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/8/13).
Lalu, apa motivasi Amerika dan porosnya terkait hal tersebut
diatas?.
Motivasi para
penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan
lepasnya daerah-daerah tersebut (yang dalam hal ini Papua), Amerika bisa
mengakses langsung kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan
pemerintahan di Jakarta seperti sekarang ini (lebih murah-meriah) – dan/atau
jika – kedepannya Pemerintah Indonesia tidak lagi mendukung kepentingan Geo
Politik-Ekonomi dan Militer Amerika di kawasan Asia Pasifik.
Secara formil,
agenda AS untuk kawasan Asia Pasifik telah diutarakan Amerika Serikat melalui
Duta Besarnya, Scot Marciel, yang mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu
negara yang dijadikan target dari strategi re-balancing (penyeimbangan kembali)
AS di Asia Pasifik (setelah kekalahan ekonomi AS {terutama} dari China).
Marciel mengutarakan kebijakan Presiden AS Barack Obama ingin mengembalikan keseimbangan di Asia Pasifik karena melihat Asia sangat penting dilihat dari populasinya yang besar, pertumbuhan ekonomi dan dinamika cepat di kawasan.
Mengenai hal
ini, Indonesia telah diminta waspada dengan adanya latihan militer gabungan
Amerika Serikat dengan Australia atau Talisman Sabre 2013 yang melibatkan 28
ribu personel militer.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesian Hikmahanto Juwana mengatakan latihan gabungan tersebut pantas diduga sebagai usaha Amerika untuk mengamankan berbagai kepentingannya di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia
Lebih dari itu,
Menteri Pertahanan AS, Panetta, menyatakan bahwa 60 persen kekuatan militer AS
akan pindah ke kawasan Asia Pasifik mulai 2012 hingga 2020.
Penempatan
ribuan pasukan AS di Darwin ini menunjukkan pergeseran strategi global yang
sangat signifikan.
Pergeseran
kekuatan militer AS ke Asia Pasifik ini bukan hal sederhana. Bisa jadi, pada 8
tahun ke depan, “Perang” perebutan sumber daya alam dan jalur perdagangan akan
beralih ke kawasan ini..” (Connie Rahakundini Bakrie, Pengamat Pertahanan dan
Militer dari Universitas Indonesia).
Kini yang menjadi
pertanyaan adalah, sudah siapkah Indonesia menghadapi Balkanisasi AS di
Nusantara ini? Dan negara mana saja yang sekiranya akan membantu Indonesia jika
Indonesia berhadapan dengan AS beserta seluruh negara aliansinya?
Tulisan asli bisa dibaca di
Comments