ANTARA JOKOWI, PARA TAIPAN & ALIM ULAMA
Senin (17/4) atau
dua hari jelang Pilkada DKI putaran kedua, di Istana kepresidenan
berlangsung sebuah pertemuan penting. Presiden Jokowi bertemu dengan sejumlah
tokoh alim ulama. Pertemuan itu luput, atau setidaknya kurang mendapat
perhatian media. Maklumlah suasana Jakarta saat itu sedang tegang dan semua
terfokus pada hari H pencoblosan.
Dilihat tokoh
yang hadir dan agenda yang dibicarakan, sesungguhnya pertemuan tersebut
sangat menarik. Dari kalangan alim ulama dan cendikiawan muslim yang
hadir antara lain Ketua MUI Ma’ruf Amin, Ustadz Yusuf Mansyur, Ustadz
Arifin Ilham, Jimly Asshiddiqqie, Mahfud MD, Hamdan Zoelva, dan Ketua
Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Presiden didampingi beberapa
stafnya, antara lain Menko Polhukam Wiranto dan Kepala Staf Kepresidenan Teten
Masduki.
Selain beberapa
agenda termasuk pilkada DKI, agenda yang dibicarakan adalah rencana pemerintah
melakukan bagi-bagi lahan milik para taipan/konglomerat. Dalam bahasa kerennya
disebut redistribusi lahan.
Ada 12,7 juta
yang akan dibagi-bagi kepada masyarakat. Salah satu channeling-nya adalah lewat
pesantren, madrasah para alim ulama, para ustadz, pondok pesantren, dan
ormas-ormas Islam. Kepada yang hadir Jokowi bertanya apakah berkenan dibangun
kemitraan antara para taipan dengan ormas dan institusi ke-Islaman?
Sebaliknya
kepada taipan, seperti dikutip Yusuf Mansyur, Presiden merasa tidak perlu
bertanya, apakah mereka bersedia atau tidak. Presiden akan memaksa
mereka untuk bekerja sama, beraliansi strategis di bidang ekonomi,
dengan para kyai, para ulama, dan pesantren.
Setidaknya ada tiga hal penting yang bisa kita cermati dari pertemuan tersebut. Pertama, Waktu yang dipilih. Kedua, Tokoh yang diajak bicara. Ketiga, isu yang dibicarakan.
Setidaknya ada tiga hal penting yang bisa kita cermati dari pertemuan tersebut. Pertama, Waktu yang dipilih. Kedua, Tokoh yang diajak bicara. Ketiga, isu yang dibicarakan.
WAKTU YANG DIPILIH
Pertemuan
tersebut dilakukan dua hari menjelang Pilkada DKI. Coba perhatikan apakah ini
sebuah kebetulan? Jelang hari pencoblosan suasana Jakarta seperti mau
perang saja. Polisi melakukan penyekatan di berbagai titik masuk menuju kota
Jakarta mencegah para alumni Aksi Bela Islam (ABI) yang akan masuk ke Jakarta.
Saat itu memang
ada upaya mobilisasi massa dari luar Jakarta oleh para simpatisan paslon nomor
3 Anies-Sandi untuk membantu mengawal pemungutan suara di TPS. Ada kekhawatiran
akan berlangsung aksi intimidasi dan kecurangan yang dilakukan oleh para
pendukung paslon nomor 2 Ahok-Djarot.
Sebaliknya dari
kalangan pendukung Ahok-Djarot juga terjadi mobilisasi massa pendukung yang
sudah terjadi beberapa hari sebelumnya. Yang paling mencolok adalah kehadiran
pasukan Banser Anshor dari berbagai daerah di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan
sehari jelang pencoblosan.
Pada H-2
Presiden sudah mendapat laporan lengkap hasil intelijen dan
langkah-langkah apa yang akan dilakukan aparat keamanan, bila situasi menjadi
tak terkendali. Jika pada putaran pertama TPS hanya dijaga oleh Polri, Satpol
PP dan unsur perlindungan masyarakat lainnya, maka pada putaran kedua TNI mulai
dilibatkan. Setiap TPS yang berjumlah 13.000 lebih dijaga oleh seorang petugas
kepolisian dan TNI.
Pelibatan TNI
ini kemudian menjadi salah satu kunci suksesnya pengamanan Pilkada putaran
kedua. Setidaknya ada dua dampak langsung yang bisa dirasakan di lapangan. Dari
sisi para pendukung Anies-Sandi kehadiran aparat TNI memberikan jaminan bahwa
pemerintah akan lebih netral, sebab selama ini ada kecurigaan kuat Polri tidak
cukup netral. Tudingan yang berulang kali dibantah. Dari sisi mereka yang
ingin membuat onar dan melakukan kecurangan, menjadi berpikir ulang dan balik
badan.
Ketegangan
memang sangat terasa dan menjalar tidak hanya di Jakarta, tapi telah menyebar
ke seantero negeri. Di berbagai group WA beredar info Kedutaan AS di Jakarta
telah membuat sebuah kontigensi
plan bila terjadi
kerusuhan. Namun ketika dilongok di website resmi Kedubes AS tidak ada info
apapun soal itu.
Penyebaran info
semacam ini biasanya dilakukan sebagai langkah kontra intelijen “menggelembungkan
bola sampai menjadi sangat besar dan sampai pada satu titik, bola akan
kembali mengempis.” Jadi aborted.
Info semacam
itu makin mudah digoreng, dan cukup efektif. Apalagi
Wapres AS Mike Pence akan tiba di Jakarta pada Rabu (19/4) malam.
Kedatangan seorang Wapres dari negeri adidaya seperti AS, bersamaan dengan
Pilkada DKI juga menimbulkan spekulasi tersendiri.
TOKOH YANG DIAJAK BICARA
Pada H-2
Presiden dipastikan sudah mendapat laporan yang valid bahwa Ahok akan kalah.
Apalagi perkembangan di lapangan sangat tidak kondusif untuk membalikkan
posisi Ahok. Blunder iklan “GanyangCina, kasus penghinaan Gubernur NTB Tuan
Guru Bajang oleh seorang anak muda bernama Steven #StevenEffect dan
berantakannya operasi sembako yang dilakukan relawan kotak-kotak makin
mempertegas bahwa Ahok sudah tidak bisa diselamatkan.
Pilihan bertemu
dengan para alim ulama dan cendekiawan Muslim yang dikenal sebagai penentang
keras Ahok, pasti bukan tanpa kesengajaan. Kalau topiknya soal redistribusi
lahan, harusnya bukan hanya tokoh muslim saja yang diundang. Program tersebut
adalah program nasional yang digagas pemerintah dan melibatkan seluruh
kepentingan. Komunitas nonmuslim, Ormas dan LSM harusnya juga diundang.
Pertemuan ini
dari sudut Jokowi adalah sebuah signal rekonsiliasi. Hubungan Presiden
dengan kalangan umat Islam menegang selama pelaksanaan Pilkada DKI.
Pada saat berlangsung ABI II atau juga dikenal dengan Aksi 411, Presiden
menolak bertemu utusan ulama dan lebih memilih meninjau proyek di Bandara
Cengkareng yang tidak terjadwal sebelumnya. Presiden baru bertemu dengan para
penggerak unjuk rasa dalam ABI III (212) itupun dalam ritual ibadah
Jumat. Tidak ada dialog.
Soal ini sangat
disadari oleh Jokowi akan menjadi liabilitas,
ganjalan besar bagi pemerintahannya, sementara dalam jangka panjang
akan merugikannya dalam Pilpres 2019. Harap diingat bagaimanapun umat Islam
adalah pemilih terbesar. Anda boleh tidak suka dan berteriak-teriak mengecam
politik aliran. Tapi itulah realita.
Salah sendiri
kok memilih demokrasi? Ha..ha..ha bercanda, tapi ini serius. Dalam
demokrasi langsung, jumlah suara sangat menentukan. Siapa yang menjadi
pemilik suara terbesar, maka dialah yang akan memenangkan pemilihan. Dalam hal
ini faktor Jawa dan Islam masih sangat menentukan. Sekali lagi Anda boleh tidak
suka. Itulah realita Indonesia. Hadapilah. Ubah lah bila tidak suka.
Jokowi punya modal
kuat pada keduanya. Dia Jawa dan Islam. Tapi kekuatan kedua dia korbankan untuk
membela kepentingan Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Jadi H-2 adalah waktu yang
dinilai tepat oleh Jokowi. Sebab bila menunggu Ahok kalah, maka langkahnya akan
dicurigai. Lho kok baru sekarang? Kemarin kemana aja? Dan masih banyak pertanyaan nyinyir
lainnya.
ISU YANG DIPILIH
Bagi-bagi lahan
ini sebuah isu yang sangat sensitif. Sudah lama muncul ketidakpuasan di banyak
kalangan, terutama para aktivis dan akademisi melihat ketimpangan kesejahteraan
yang terjadi, apalagi bila dikaitkan dengan isu mayoritas-minoritas, maka
menjadi sangat sensitif.
Mantan Ketua Umum PBNU
almarhum Hasyim Muzadi punya pernyataan menarik soal
ini. Menurut Hasyim, mayoritas dan minoritas harus dilihat dari dua
dimensi. Dari jumlah dan dari segi potensi dan peranan di Indonesia.
Biasanya
menyebut mayoritas ditinjau dari segi populasi maka artinya adalah pribumi.
Sedangkan jika ditinjau dari segi keagamaan yang dimaksud adalah umat Islam. Di
luar itu minoritas. Sementara bila dilihat dari potensi ekonomi dan peranannya,
maka yang mayoritas menjadi minoritas. Sebaliknya yang minoritas dalam hal ini
non pribumi dan nonmuslim menjadi mayoritas bahkan sangat superior.
Masih menurut
Hasyim, pribumi dan muslim sudah menunjukkan sikap toleransinya yang luar
biasa. Sebaliknya yang mayoritas di sektor ekonomi belum menunjukkan
toleransinya.
Data
menunjukkan apa yang disampaikan oleh Hasyim sangat benar. Dari 100 orang
terkaya Indonesia yang setiap tahun dilansir oleh Majalah Forbes, maka pribumi
apalagi beragama Islam, jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari. Ketua MPR
Zulkifli Hassan pernah menyebut 50 persen kekayaan Indonesia berada di tangan
segelintir orang.
Soal penguasaan
lahan jauh lebih menyeramkan. Komnas HAM menyebut 74 persen lahan di Indonesia
dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Artinya 500 ribu orang
menguasai 74 persen lahan. Apakah data itu tidak terlalu fantastis?
Ternyata tidak.
29 konglomerat yang juga bergerak di perkebunan kelapa sawit
seperti Sinar Mas, salim Group dkk menguasai 5.1 juta hektar lahan.
Untuk membantu Anda membayangkan seberapa luas lahan 5.1 juta hektar itu
gambarannya seperti ini. Luas pulau Jawa 128.297 kilomter persegi atau 12.8
juta hektar. Jadi lahan seluas 5.1 juta hektar itu hampir sama dengan
luas separuh pulau Jawa. Dahsyat khan?
Itu baru lahan
sawit. Belum lahan-lahan lain, termasuk di Jakarta. Mantan Menteri Kehutanan MS
Kaban menyebutkan 87 persen lahan di Jakarta dikuasai pengembang non pri. Dua
pemain utamanya adalah Agung Sedayu dan Agung Podomoro. Penguasaan lahan
yang ugal-ugalan itu membuat Komisioner Komnas
HAM Hafid Abbas khawatir. Afrika Selatan, ketika rezim apharteid berkuasa, 5
persen warga kulit putih menguasai 50 persen lahan. Afsel bubar!
Masalahnya para
taipan ini termasuk tipe yang serakah. Kementrian Kehutanan dan Lingkungan
Hidup mencatat bahwa lahan yang dikuasai para tauke ini banyak yang dianggurkan.
Modal mereka cukup mengajukan ijin, menguasai dan kemudian menjadikan semacam
bank tanah (land
banking).
Karena itu
seperti disampaikan oleh Menteri Kehutanan dan LH Siti Nurbaya pemerintah
melakukan moratorium perijinan selama lima tahun. Sementara tanah-tanah yang
nganggur inilah yang akan diambil.
Kalau Presiden
Jokowi menyatakan ada 12.7 juta yang akan dibagi-bagi. Jumlah itu sebenarnya
masih terlalu kecil. Bila mengacu pada Hafid Abbas distribusi yang ideal
pemilikan lahan adalah 1 juta hektar untuk orang kaya, 2 juta hektar untuk
kelas menengah dan 3 juta hektar untuk kelompok miskin.
Okelah niat
bagi-bagi lahan ini walaupun belum ideal pantas dihargai. Tapi apa masalahnya
bisa sesederhana itu. Harap dicatat diksi yang digunakan oleh Jokowi. “taipan”,
“tidak perlu diajak bicara” dan “dipaksa”.
Taipan diadopsi
dari bahasa Jepang yang berarti tuan besar. Apa mungkin tuan besar bisa dipaksa
dan tidak perlu diajak bicara? Kok gak sopan bener? Sampai disini pesan
yang ingin disampaikan cukup jelas. Jokowi ingin menunjukkan bahwa dia adalah
Presiden. Sangat berkuasa, powerful,
bisa memaksa siapa saja, termasuk para tuan besar?.
Pesan ini
sangat penting karena sepanjang pelaksanaan Pilkada DKI muncul banyak rumor
bahwa Jokowi melindungi Ahok karena tunduk pada para cukong. Para Cukong ini
yang menjadi penyandang dana untuk Ahok maupun Jokowi baik pada Pilpres 2014
maupun nanti 2019. Dengan Jokowi bisa “memaksa” para taipan, maka rumor itu
bisa ditepis. Jokowi adalah presiden yang berkuasa.
Pesan lain yang
bisa ditangkap dari statemen Jokowi dari sudut pandang para taipan.
Seluruh rangkaian kegiatan Pilkada DKI 2017 lalu, termasuk berbagai aksi jutaan
umat Islam mengingatkan, bahwa dengan uang yang dimiliki, mereka tidak bisa
membeli segalanya.
Kekalahan Ahok
makin menegaskan hal itu. Mayoritas warga Jakarta, bukan hanya umat Islam,
menolak langkah mereka untuk menyatukan kekayaan dan kekuasaan dalam satu
tangan. Oligarki! Dalam bahasa yang sering digunakan oleh Amien Rais, enough is enough.
Bagi mereka
bila Ahok menang, maka mereka akan maju seribu langkah. Sebaliknya bila kalah,
maka mereka hanya mundur satu langkah. Kini saatnya yang tepat untuk mundur
satu langkah. Jadi kalau Jokowi “memaksa” mereka akan manut, nurut. Toh tanah itu
bukan tanah mereka. Tanah negara yang mereka kuasai dengan mengajukan perijinan
yang penuh kong kalikong. Jadi tidak
ada ruginya.
Lepas dari berbagai
motivasinya, program pemerintahan Jokowi dalam program redistribusi lahan para
taipan, adalah ide yang baik. Bila dibiarkan berlanjut, situasi ini akan mendorong
ketimpangan yang makin dalam dan Indonesia bisa terjerumus dalam perpecahan.
Ibarat sebuah lahan, saat ini terlalu banyak ranting kering. Dengan hanya satu
batang korek api, maka lahan yang sangat luas bernama Indonesia itu bisa
langsung terbakar.
Yang perlu
dicatat ide Jokowi bukanlah ide yang baru. Dengan modus yang berbeda Presiden Soeharto
dulu juga pernah mencoba. Masih ingat bagaimana Soeharto mengumpulkan para
taipan/konglomerat yang dibesarkannya? Soeharto meminta mereka membagikan 2.5-5
persen keuntungannya untuk UKM. Apa jawabannya? Para taipan menolak karena tahu
Soeharto saat itu sudah tidak lagi powerful.
Apakah Jokowi
jauh lebih kuat dibandingkan dengan Soeharto dan bisa memaksa para
taipan? Kita tunggu saja.
Filosofi kekayaan itu seperti meminum air laut. Semakin kita
minum, maka kita akan semakin haus. Karena itu agama mengajarkan “Sebaik-baik
kekayaan itu berada di tangan orang soleh.”
Sumber: citizenjournalism.online
Comments