Kebijakan Indonesia dalam Merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik, Pasca Ratifikasi ASEAN-CHINA FTA

Wednesday, February 2, 2011
Pendahuluan
Tahun 2010 lalu diwarnai oleh euphoria episode yang menegangkan dalam sejarah kiprah perdagangan Indonesia. Bagaimana tidak, pasca pemerintah meratifikasi Asean-China Free Trade Area (ACFTA) yang mulai berlaku implementatif sejak awal tahun 2010 lalu, pasar domestik Indonesia mulai didera oleh kompetisi yang sangat sengit dengan Cina. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kemudian ACFTA ini menimbulkan polarisasi opini publik yang pecah dalam dua kubu: pro dan kontra. Kalangan yang kontra menilai bahwa kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini merupakan ajang bunuh diri, karena kapabilitas pasar domestik yang masih tertinggal jauh di belakang Cina. Namun sebagian publik lain yang pro terhadap produk kebijakan ini – beragumen bahwa sebenarnya kebijakan ini merupakan langkah strategis yang harus didukung. Karena kebijakan ini mengindikasikan komitmen Kabinet Indonesia Bersatu jilid II untuk menyukseskan proses debottlenecking arus ekspor barang Indonesia ke pasar Cina. Sehingga sirkulasi produk Indonesia dalam kuantitas yang lebih masif dapat lebih ekspansif ke pasar Cina, yang akhirnya akan bermuara pada meningkatnya neraca perdagangan Indonesia.
Namun sayangnya fakta yang terjadi malah sebaliknya. Karena kurang kompetitifnya produk Indonesia dalam spekrum pertarungan kualitas, kuantitas, maupun harga, akhirnya secara otomatis menyebabkan fenomena superioritas produk Cina di pasar domesik. Kuota produk Cina dalam kuantitas super masif telah berhasil membanjiri pasar domestik Indonesia. Bahkan lebih jauh, realita pasar membuktikan bahwa bagi konsumen lokal: produk Cina jauh lebih “magnetis” dibanding produk lokal – harga produk Cina yang jauh lebih murah – telah menarik perhatian konsumen lokal yang notabene-nya memiliki daya beli rendah. Sehingga konsumen lokal berbondong-bondong mengkonsumsi produk Cina. Jadi intinya, produk Cina tidak hanya telah berhasil membanjiri pasar domestik secara territorial – tetapi juga telah berhasil merampas pangsa pasar domestik.

Rumusan Masalah:

Tulisan ini akan menyoroti tentang:
1. Sejauh mana respon pemerintah dan pengusaha lokal dalam menanggapi “hegemoni produk Cina di pasar lokal” pasca ratifikasi ACFTA?
2. Apa saja faktor yang menghambat perkembangan produk lokal sehingga kalah saing dengan produk Cina?
3. Apa rekomendasi solutif untuk membuat Indonesia bisa “survive” dalam arena pertarungan dengan Cina tersebut?

Kerangka Teori:
Dalam kasus ini teori yang relevan adalah:
1. Konsep “Variabel Sistemile” dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri:
Untuk menganalis alasan di balik kebijakan Indonesia dalam meratifikasi ACFTA walaupun tanpa disertai oleh kesiapan pasar domestik tersebut -
variabel yang paling relevan adalah Variabel Sistemile – yang diadopsi dari pemikiran James N. Rosenau dan disempurnakan oleh Holsti. Konsep ini menyebutkan bahwa: “kebijakan suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang merujuk pada situasi politik-ekonomi internasional”. Seperti diketahui bahwa fenomena integrasi pasar kini telah melanda seluruh dunia (adanya Uni Eropa, NAFTA, dll) – maka sebagai negara yang berdaulat akhirnya Indonesia pun terstimulasi untuk ikut tergabung dalam formasi integrasi pasar bebas, dimulai dengan Cina – karena Cina kini merupakan “The Emerging Power” di Asia.
2. Teori “Comparative Advantage” (Keunggulan Komparatif) – karya David Ricardo yang mengatakan bahwa; “Dalam mekanisme pasar bebas, suatu negara akan diuntungkan apabila mampu memproduksi barang dan jasa dalam kuota masif, namun dengan biaya yang lebih murah dibandingkan negara saingannya, serta mampu membuat spesialisasi, dengan memproduksi komoditas unggulan yang tidak bisa diproduksi oleh negara lain. Teori ini-lah yang dapat menjelaskan mengapa pengusaha domestik “kewalahan” menghadapi kompetisi dengan Cina.

Pembahasan
Menurut peta perdagangan dunia, ACFTA saat ini merupakan salah satu blok perdagangan terbesar di dunia. Dengan didukung jumlah akumulatif penduduk ASEAN plus Cina yang mencapai 1,9 milyar jiwa, ACFTA pantas dinobatkan sebagai blok perdagangan dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Apalagi dilihat dari sisi volume perdagangan, nilai perdagangan ACFTA yang mencapai 200 milyar dollar AS, membuat blok perdagangan ini pantas dianugerahi kategori sebagai blok perdagangan terbesar ke-3 setelah Uni Eropa dan NAFTA. Data ini mengindikasikan bahwa pasar ACFTA adalah blok perdagangan yang sangat potensial dan prosfektif. Sehingga kemudian, data itulah yang menstimulasi para kepala Negara ASEAN dan RRC untuk meratifikasi ACFTA pada tanggal 4 November 2002 – yaitu dengan ditandatanginya Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Phnom Penh, Kamboja.
Esensialnya, dalam formulasi tujuan blok perdagangan ini, tercantumlah 4 poin elementer yang menjadi landasan utama tujuan kerjasama negara-negara anggota ACFTA ini. Ke-4 poin tersebut terdiri dari:
1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota.
2. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.
3. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.
4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif bagi para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.
Namun tak diduga akhirnya ACFTA malah menyebabkan Indonesia terjerat dalam tentakel Cina.

Menyadari implikasi negatif tersebut, publik domestik pun bergolak, lahirlah aksi-aksi demonstrasi menentang ACFTA – yang marak terjadi di awal hingga pertengahan tahun 2010. Tema utama yang diangkat adalah “bahwa pelaku bisnis Indonesia, yang mayoritas UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) belum siap bertarung dengan Cina”. Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA ini diyakini sebagai sebuah ajang bunuh diri bagi pasar domestik, karena banyak pihak meragukan kapabilitas pelaku bisnis domestik untuk memenangkan pertarungan melawan Cina tersebut. Tanpa ACFTA saja, produk Cina, baik legal maupun selundupan, telah membanjiri pasar Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia-Cina terbukti defisit sejak tahun 2008. Ekspor Indonesia ke Cina sebesar US$11,6 milyar, sedangkan impor dari Cina ke Indonesia mencapai US$ 15,2 milyar pada tahun 2008. Data Januari hingga September 2009, defisit perdagangan Indonesia-Cina mencapai US$1,7 milyar karena ekspor Indonesia lebih rendah daripada impor dari Cina. Ini hanya sekelumit bukti otentik bahwa produk Indonesia terpuruk menghadapi serbuan produk Cina dengan harga murah dan jumlah yang jauh lebih banyak.
Lebih parahnya lagi, jauh sebelum tahun 2010, Artikel 6 Perjanjian ACFTA mencantumkan program penurunan tariff yang disebut Early Harvest Programme (EHP) . Program ini bertujuan untuk mempercepat implementasi penurunan bea masuk barang. Cakupan produk yang masuk dalam EHP adalah:
• Chapter 01 s.d 08 : Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan buah-buahan (SK Menkeu No 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA).
• Kesepakatan Bilateral (Produk Spesifik) antara lain kopi, minyak kelapa/CPO, Coklat, Barang dari karet, dan perabotan (SK Menkeu No 356/KMK.01/2004 tanggal 21 juli 2004 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA).
Program tersebut telah berlaku implementatif terhitung sejak 1 Januari 2004, hal ini berarti jauh sebelum ACFTA efektif diberlakukan awal tahun 2010 lalu.
Sayangnya, sebelum meliberalisasi pasar domestik, pemerintah tidak sempat mengidentifikasi seberapa jauh kesiapan sektor riil, UMKM, ekspor, dan industri domestik. Dengan sangat gegabah mereka meratifikasi perjanjian ACFTA. Kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini terlihat bagaikan keputusan yang sangat prematur tanpa disertai kesiapan untuk menanggung konsekwensinya. Sehingga akhirnya pasar domestik seolah menjadi “gudang” barang Cina.
Namun semuanya sudah terlanjur terjadi, perjanjian ACFTA tak mungkin lagi dapat diabrogasi. Namun sepanjang tahun 2010, jika disoroti lebih dalam, pemerintah belum dapat sempat memformulasikan kebijakan yang dapat mengeliminasi dampak negatif tersebut secara signifikan. Oleh karena itu, pemerintah kini masih memiliki banyak 'pekerjaan rumah' yang berkaitan dengan export chain di tahun 2011 ini.
Dari analisis di lapangan, sepanjang tahun 2010, lemahnya daya saing produk ekspor Indonesia ternyata disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan “ekonomi biaya tinggi” yang belum diatasi oleh pemeintah, yaitu:
1. Biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan.
2. Biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor. Pungli masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di pusat maupun daerah. Pemerintah belum secara signifikan berhasil mengurangi sumber-sumber ekonomi biaya tinggi ini.
3. Rendahnya lokal konten dalam proses produksi industri domestic. Karena pengusaha domestik masih bergantung pada penggunaan bahan baku impor yang berkisar antara 28-90 persen.
4. Masih lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri domestik masih banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”, di samping juga permasalahan rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati “monopoli”, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan Sumatra.
5. Indonesia masih mengalami fenomena rendahnya keunggulan komparatif. Indonesia belum mampu menetapkan produk unggulannya, bahkan sebagai negara agraris, Indonesia belum mampu menjadi sentrum produk pertanian. Lebih jauh jika ingin disebut negara Industri, produk industri lokal pun masih belum bisa bersaing dengan produk Cina, sebagai contoh, kini Batik Cina pun kian menggeser eksistensi batik lokal.
6. Kurang signifikan-nya bargaining position Indonesia dalam melakukan diplomasi ekonomi dengan Cina. Sehingga menyebabkan, hubungan perdagangan Indonesia-Cina masih diwarnai banyak hambatan. Misalnya adanya kasus-kasus sengketa perdagangan Indonesia-Cina. Seringkali dalam penyelesaian sengketa perdagangan, Indonesia lebih sering mengalah dengan Cina. Bahkan dalam formulasi kebijakan perdagangan pun, Indonesia masih di bawah tekanan Cina, misalnya saja tentang penetapan tariff 0%, atau masalah membanjirnya produk batik Cina yang menggeser batik lokal – Indonesia seolah tak bisa berbuat banyak untuk menekan Cina. Sehingga akhirnya Cina pun berani melakukan manuver politis yang bersifat intimidatif untuk memaksa Indonesia membuat kebijakan yang bisa menguntungkan pengusaha Cina, walupun harus mengorbankan industri lokal.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Singkatnya, ACFTA merupakan sentrum tantangan sekaligus peluang. Peluang terbesar yang harus dipertimbangkan adalah bahwa Cina adalah pusat gravitasi perekonomian di Asia, dengan realitas pasar yang sangat luas dan prosfektif, maka dapat dibayangkan betapa besarnya profit yang mampu diraup oleh pelaku bisnis domestik apabila dapat menguasai pasar Cina. Oleh karena itu hendaknya pemerintah lebih mempertajam strategi untuk menyelamatkan pasar domestik dari hegemoni produk Cina. Pemerintah harus lebih serius untuk mengeliminasi faktor-faktor yang menyebabkan “ekonomi biaya tinggi”. Serta pemerintah juga harus lebih percaya diri dalam kerangka diplomasi vis a vis dengan Cina. Terutama dalam penyelesaian sengketa perdagangan serta mengupayakan terjadinya “FAIR TRADE” (Iklim pasar yang lebih adil dan tidak bersifat predatoris terhadap pengusaha kecil lokal) – sehingga eksistensi dan performa industri lokal dapat terjamin.
Lagipula sebenarnya ACFTA ini merupakan suatu ajang “uji kapabilitas”, sebelum nantinya Indonesia berkompetisi di arena “ASEAN ECONOMY COMMUNITY” (AEC) 2015. Indonesia harus menempa diri untuk berlaga di arena pertarungan ACFTA, agar nantinya ketika menghadapi AEC 2015, Indonesia tidak gugup karena telah tertempa dengan baik. Liberalisasi pasar merupakan sebuah fenomena yang tak dapat terelakkan lagi. Sepertinya fenomena ini merupakan konsekwensi dari episode globalisasi, daripada terus mengkritik fenomena ini, lebih baik Indonesia segera berkomitmen untuk meningkatkan kompetensi, kapabilitas, dan daya saing sebagai strategi untuk dapat survive dan diperhitungkan di arena kompetisi regional maupun global. Walaupun sepanjang tahun 2010 lalu, pemerintah belum mampu memformulasikan upaya solutif untuk menyelamatkan pasar domestik, namun di tahun 2011 ini diharapkan pemerintah mampu bekerja lebih baik agar pasar domestik bisa terus “survive” sepanjang ACFTA ini berlangsung.

Comments

Popular posts from this blog

BSN TETAPKAN 67 SNI BARU

THE MOSQUE OF TIANJIN - CHINA

LIST OF MANDATORY SNI - 2014