MENGATASI SERBUAN PRODUK IMPOR CHINA

Serbuan produk impor China tak tertahankan lagi. Setelah keikutsertaan Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) berlaku efektif awal tahun 2010, arus masuk produk impor China terus menunjukkan peningkatan. Tercatat nilai impor sektor non migas dari China sepanjang Januari hingga Oktober 2010 mencapai US$ 15,913 miliar. Meningkat US$ 5,161 miliar atau 48% dibandingkan nilai impor periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar US$ 10,752 miliar (Kontan, 02 Desember 2010). Akibatnya pasar nasional banyak dibanjiri produk impor China.
Celakanya, serbuan produk impor China berpotensi mengancam eksistensi produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di pasaran. Seperti diketahui, produk impor China banyak memiliki keunggulan dibanding produk UMKM. Selain harganya lebih murah, produk impor China memiliki banyak varian dan model yang menarik. Dikhawatirkan masyarakat akan lebih memilih produk impor China daripada produk UMKM.
Hal ini harus segera diantisipasi. Jika tidak, sedikit demi sedikit keberadaan produk UMKM di pasaran akan hilang dan digantikan oleh barang impor China.
Menurut penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan produk UMKM kalah bersaing dengan produk impor China. Pertama, rendahnya penguasaan teknologi produksi oleh pelaku UMKM. Hingga saat ini masih banyak pengusaha UMKM yang melakukan proses produksi secara manual dengan sistem yang tradisonal. Hal ini membuat produktifitas menjadi rendah dan sebaliknya biaya produksi menjadi tinggi. Akibatnya harga produk UMKM di pasar menjadi tidak kompetitif. Selain itu waktu pengerjaan juga menjadi lebih lama sehingga seringkali tidak bisa memenuhi pesanan dalam jumlah besar.
Kedua, lemahnya penguasaan teknologi informasi. Hal ini membuat sistem administrasi dan manajemen keuangan UMKM menjadi lemah. Akibatnya operasional dan manajemen UMKM tidak berjalan efektif dan efisien.
Ketiga, terbatasnya jaringan atau network yang dimiliki UMKM. Hal ini menyebabkan UMKM tidak maksimal dalam melakukan promosi dan pemasaran produk. Sehingga seringkali hasil produk UMKM tidak dapat menembus pasar padahal kualitas produknya cukup baik.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah membentuk klaster usaha mikro, kecil dan menengah. Berdasarkan SK Menteri Negara Koperasi dan UKM No. 32 tahun 2002, klaster usaha mikro, kecil dan menengah didefinisikan sebagai pusat kegiatan UMKM pada sentra yang telah berkembang, ditandai dengan munculnya pengusaha-pengusaha yang lebih maju, spesialisasi proses produksi dan kegiatan ekonomi yang terkait dan saling mendukung.
Pembentukan klaster dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan UMKM dengan mengintegrasikan usaha sektor hulu dan hilir dalam satu kawasan terpadu sehingga tercipta efisiensi dan efektifitas proses produksi. Dengan menggabungkan dan mengintegrasikan pelaku UMKM dari sektor hulu dan hilir dalam satu klaster maka akan tercipta sebuah supply chain management sehingga proses produksi, standarisasi mutu dan pengiriman hasil produksi kepada konsumen menjadi lebih efisien dan efektif.
Selain itu, pembentukan klaster UMKM juga memberikan beberapa manfaat lain. Diantaranya, pertama, pembentukan klaster akan memudahkan terjadinya transfer knowledge dan transfer technology. Sehingga secara bertahap kompetensi pengusaha UMKM dalam proses produksi, pengelolaan keuangan dan administrasi bisnis dapat makin meningkat.
Kedua, mempermudah kegiatan promosi. Dengan adanya sistem klaster, pengusaha UMKM tidak perlu melakukan promosi masing-masing. Mereka hanya perlu memperomosikan klaster sebagai sebuah kesatuan usaha. Ketika order datang, pekerjaan akan dibagi sesuai spesialisasi dan kompetensi masing-masing.
Dengan berbagai manfaat tersebut diatas, pembentukan klaster UMKM seharusnya dapat menghasilkan produk unggulan yang mampu bersaing dengan produk impor China. Sayangnya, masih ada beberapa kendala dalam pembentukan klaster. Pertama, sulitnya menyatukan pelaku usaha dalam satu area tertentu. Seperti kita tahu, pembentukan klaster menuntut penyatuan bisnis inti, pendukung dan pelengkap dalam satu area agar bisa saling bersinergi secara optimal. Namun, minimnya ketersediaan lahan dan mahalnya harga tanah dan bangunan menyebabkan proses pembentukan klaster tidak mudah.
Kedua, minimnya ketersediaan infrastruktur pendukung. Pada sebagian besar klaster, penyediaan infrastruktur pendukung sangat tergantung pada inisiatif dan kemampuan pengusaha UMKM. Masalahnya, modal pelaku UMKM sangat terbatas. Sehingga seringkali pengusaha UMKM tidak dapat membangun infrastruktur baru dan hanya memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada meskipun minim.
Ketiga, minimnya kreatifitas pelaku UMKM untuk menciptakan berbagai bisnis yang saling mendukung. Kebanyakan pelaku UMKM melakukan duplikasi atas bisnis yang sudah berkembang. Akibatnya timbul persaingan antar pelaku usaha di dalam klaster dan cenderung saling mengalahkan.
Keempat, ketergantungan terhadap trend dan munculnya usaha besar. Pada sebagian klaster UMKM, pembentukan klaster lebih disebabkan oleh spontanitas akibat trend bisnis atau munculnya usaha besar yang memunculkan booming produk tertentu. Pada saat terjadi booming, produktifitas klaster meningkat untuk memenuhi tingginya pesanan produk. Akan tetapi sebaliknya, saat trend sebuah produk mulai berkurang atau usaha besar mengurangi volume usahanya, produktifitas kegiatan dalam klaster juga ikut menurun.
Beberapa faktor tersebut diatas menyebabkan manfaat pembentukan klaster UMKM menjadi tidak optimal. Untuk itu diperlukan partisipasi aktif pemerintah dalam hal; Pertama, penyediaan lokasi tertentu yang bisa digunakan untuk pengembangan klaster. Penyediaan lahan ini bisa dilakukan langsung oleh Pemerintah Daerah bekerja sama dengan instansi terkait atau bekerja sama dengan pengusaha besar yang sudah mendirikan usahanya. Nantinya pengusaha UMKM harus membayar sewa lahan atau membeli dengan cara mengangsur kepada penyedia lahan.
Kedua, penyediaan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan oleh pelaku usaha baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Dengan tersedianya infrastruktur yang dibutuhkan, kegiatan produksi dalam klaster dapat berjalan lebih optimal.
Ketiga, pendirian lembaga pengembangan bisnis (LPB) atau business development services (BDS). LPB atau BDS didirikan untuk menjadi mitra bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dalam pengembangan klaster dan memberikan layanan pengembangan bisnis dalam rangka meningkatkan kinerja, memperluas akses pasar dan mempermudah akses permodalan bagi UMKM.
Dengan adanya peran aktif pemerintah tersebut diatas, diharapkan pembentukan klaster menjadi lebih optimal sehingga dapat dihasilkan produk-produk UMKM yang berkualitas tinggi yang mampu bersaing dengan produk impor China dan produk luar negeri lainnya.
(pernah dimuat di Harian KONTAN, 23 Desember 2010)

Comments

Popular posts from this blog

REKAMAN AUDIT DI PROSPERITY TIEN ENTERPRISE CO LTD KAOHSIUNG - TAIWAN

THE MOSQUE OF TIANJIN - CHINA

Tentang Standar Nasional Indonesia-SNI 8664:2018 Madu